Cerita Ringan Tentang Gus Dus

Oleh: Lukman Hakiem
Tujuh tahun yang lalu, mantan Presiden Abdurrahman Wahid meninggal dunia. Banyak kenangan diungkapkan terhadap tokoh ini. Sebagai aktivis, beruntung saya punya sedikit kenangan dengan tokoh yang kemudian akrab disapa Gus Dur.

Diskusi di Dagen 16
Suatu hari di tahun 1981, penyunting buku Pergolakan Pemikiran Islam Catatan Harian Ahmad Wahib, Djohan Effendi (Sekretaris Negara era Presiden Abdurrahman Wahid), mencari saya ke Sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta di Jl. Dagen No. 16. Di HMI Cabang Yogya, saat itu saya salah satu ketua di bawah Ketua Umum Zulkifli Halim.
Karena saya tidak tinggal di Dagen, tentu saja Mas Djohan tidak ketemu dengan saya. Dan Mas Djohan menitip pesan agar saya menemuinya di Hotel Garuda. "Saya sedang ada seminar di sana," kata Mas Djohan dalam pesan tertulisnya.
Malamnya, seorang diri saya meluncur ke Hotel Garuda. Saya bertemu Mas Djohan seraya diajaknya menikmati santap malam yang --buat ukuran aktivis zaman itu-- cukup mewah.
Ketika sedang ngobrol sambil bersantap, dari kejauhan tampak seseorang yang wajahnya saya kenali melalui foto yang menyertai tulisan dan pendapatnya di berbagai media massa. Tulisan dan pendapat tokoh ini nyaris tidak pernah saya lewatkan.
"Anda tahu orang itu?" tanya Mas Djohan.
"Itu kan Abdurrahman Wahid," jawab saya mengenai sosok yang saat itu menjabat Katib Syuriah PBNU.
"Bagus sekali kalau Anda undang Mas Durahman ke Dagen. Nanti saya kenalkan," kata Mas Djohan.
Mas Djohan pun memanggil Mas Durahman (seingat saya di masa itu belum populer panggilan Gus Dur, saya sendiri menyapanya Cak Rahman) dan mengenalkan saya, "Ini Lukman Hakiem dari HMI Yogya, mau undang Sampeyan diskusi."
Cak Rahman menyambut baik tawaran itu, dan bersepakat diskusi dilaksanakan di Dagen 16 keesokan harinya pukul 10.00.
Maka, malam itu saya dan teman-teman yang tersisa di Dagen bekerja keras menyiapkan surat undangan dan menyebarkannya. Malam itu, saya dan teman-teman berkeliling Yogya mengantarkan undangan ke teman-teman Kelompok Cipayung dan Generasi Muda Islam (Gemuis), selain tentu ke para pengurus HMI.
Masih Berkaos Oblong
Sesuai kesepakatan, keesokan paginya sekitar pukul 09 saya menjemput Cak Rahman di Guest House UGM, Bulaksumur.
Ketika tiba di kamarnya, ternyata Cak Rahman belum siap. Dia masih bersarung dan berkaos oblong. "Waduh, saya keasyikan baca buku ini," ujar Cak Rahman sambil menunjukkan buku tebal berbahasa Inggris yang saya lupa judulnya.
"Begini saja," sambung Cak Rahman, "Sampeyan belum sarapan toh?"
Lantaran gengsi, saya jawab: "Sudah Cak."
Cak Rahman tertawa terkekeh-kekeh, "mana ada aktivis jam segini sudah makan. Sudah, Sampeyan makan dulu di restoran, bilang saya yang bayar, saya mau mandi."
Tidak lama sesudah saya selesai memperbaiki gizi, Cak Rahman datang. Kami pun berangkat menuju Dagen, di bilangan Malioboro. Saya minta maaf kepada Cak Rahman, karena menjemputnya cuma menggunakan motor bebek. "Sampeyan ini. Adanya bebek, ya bebek saja. Nggak perlu minta maaf."
Sepanjang perjalanan kami ngobrol berbagai hal, termasuk perihal Pondok Pesantren Ciganjur yang selalu menjadi predikatnya jika menulis. "Pesantren apa? Itu bisa-bisanya koran saja," ujar Cak Rahman enteng.
Cak Rahman juga menumpahkan kejengkelannya terhadap rektor sebuah perguruan tinggi negeri. "Sampeyan lihat. Saya akan buktikan, saya bisa lebih besar dari dia dan perguruan tingginya," kata Cak Rahman.
Sampai di Dagen, saya kaget. Ruang pertemuan yang memang tidak terlalu besar, penuh sesak oleh peminat diskusi, bahkan melimpah sampai keluar. Daya panggil Cak Rahman ternyata luar biasa besar. Bayangkan, dengan acara yang disiapkan sangat mendadak, peserta diskusi melimpah ruah.
Saya tidak ingat lagi apa tema diskusi pagi itu. Yang pasti, keesokan harinya tiga koran Yogya: Kedaulatan Rakyat, Masa Kini, dan Berita Nasional; mewartakan diskusi para aktivis mahasiswa dengan Katib Syuriah PBNU, H. Abdurrahman Wahid.
Sejak peristiwa itu, beberapa kali saya menghadiri diskusi di mana Cak Rahman sebagai salah seorang nara sumber yang selalu membikin cair suasana. Beberapa kali saya saksikan, sesudah memaparkan pandangannya, Cak Rahman tertidur sampai terdengar dengkur halusnya. Yang luar biasa, ketika diminta memberi tanggapan balik, dia bisa menjawab satu per satu.
Bertemu di Ciganjur
Lama tidak bertemu, pada 2004, bersama Endin A.J. Soefihara, saya menemani Wakil Presiden Hamzah Haz bertemu Cak Rahman --yang kali ini saya sapa: Gus Dur-- di Ciganjur.
Ketika bersalaman saya berkata: "Gus, saya Lukman Hakiem yang dulu menjemput Sampeyan di Bulaksumur...." Belum selesai saya bicara, Gus Dur menyergah: "Diskusi di HMI itu ya. Gayeng diskusinya tuh. Anda di mana sekarang?" Saya kaget, peristiwa kecil 25 tahun yang lalu, masih diingat oleh Gus Dur.
Meskipun saya tidak selalu sependapat dengan Gus Dur, saya mengenang Gus Dur sebagai pemimpin yang bersahaja, egaliter, dan sejak muda sudah memiliki daya panggil.
Suatu hari di Salatiga, seusai menghadiri diskusi di Universitas Satya Wacana --saya dan Asmar Oemar Saleh  hadir sebagai pendengar yang budiman atas rekomendasi Dr. Arif Budiman-- bekas Ketua Dewan Mahasiswa ITB, Heri Akhmadi berkata kepada kami: "Cak Rahman bakal jadi pemimpin besar."
Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu.

Subscribe to receive free email updates: