Menyebut Nama Rasulallah Saw Dengan Awalan Sayyidina Suatu Keharusan
Baiturahman News - Sebagian
orang membid’ahkan panggilan Sayyidinaa atau Maulana didepan nama Muhammad
Rasulallah saw., dengan alasan bahwa Rasulallah saw. sendiri yang menganjurkan
kepada kita tanpa mengagung-agungkan dimuka nama beliau saw. Memang golongan
ini mudah sekali membid’ahkan sesuatu amalan tanpa melihat motif makna
yang dimaksud Bid’ah itu apa.
Mari kita
rujuk ayat-ayat Ilahi dan hadits-hadits Rasulallah saw. yang berkaitan dengan
kata-kata sayyid.
Syeikh
Muhammad Sulaiman Faraj dalam risalahnya yaitu Dala’ilul-Mahabbah Wa Ta’dzimul-Maqam Fis-Shalati Was-Salam ‘AN
Sayyidil-Anam dengan tegas mengata kan: Menyebut nama Rasulallah saw. dengan
tambahan kata Sayyidina (junjungan kita) didepannya merupakan suatu keharusan
bagi setiap muslim yang mencintai beliau saw. Sebab kata tersebut
menunjukkan kemuliaan martabat dan ketinggian kedudukan beliau.
Allah
swt.memerintahkan ummat Islam supaya menjunjung tinggi martabat Rasulallah
saw., menghormati dan memuliakan beliau, bahkan melarang kita memanggil atau
menyebut nama beliau dengan cara sebagaimana kita menyebut nama orang diantara
sesama kita. Larangan tersebut tidak berarti lain kecuali untuk menjaga kehormatan
dan kemuliaan Rasulallah saw. Allah swt.berfirman, yang artinya:
“Janganlah kalian memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama
orang diantara kalian”. (S.An-Nur : 63).
Dalam
tafsirnya mengenai ayat An-Nur : 63 ini, Ash-Shawi mengatakan: Makna ayat itu
ialah janganlah kalian memanggil atau menyebut nama Rasulallah saw. cukup
dengan nama beliau saja, seperti Hai Muhammad atau cukup dengan nama julukannya
saja Hai Abul Qasim. Hendaklah kalian menyebut namanya atau memanggilnya dengan
penuh hormat, dengan menyebut kemuliaan dan keagungannya.
Demikianlah
yang dimaksud oleh ayat tersebut diatas. Jadi, tidak patut bagi kita menyebut
nama beliau saw.tanpa menunjukkan penghormatan dan pemuliaan kita kepada beliau
saw., baik dikala beliau masih hidup didunia maupun setelah beliau kembali
keharibaan Allah swt. Yang sudah jelas ialah bahwa orang yang tidak
mengindahkan ayat tersebut berarti tidak mengindahkan larangan Allah dalam
Al-Qur’an. Sikap demikian bukanlah sikap orang beriman.
Menurut
Ibnu Jarir, dalam menafsirkan ayat tersebut Qatadah mengatakan : Dengan ayat
itu (An-Nur:63) Allah memerintahkan ummat Islam supaya memuliakan dan
mengagungkan Rasulallah saw.
Dalam
kitab Al-Iklil Fi Istinbathit-Tanzil
Imam Suyuthi mengatakan: Dengan turunnya ayat tersebut Allah melarang
ummat Islam menyebut beliau saw. atau memanggil beliau hanya dengan namanya,
tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya Rasulallah atau Ya
Nabiyullah. Menurut kenyataan sebutan atau panggilan demikian itu tetap
berlaku, kendati beliau telah wafat.
Dalam
kitab Fathul-Bari syarh Shahihil Bukhari juga terdapat penegasan
seperti tersebut diatas, dengan tambahan keterangan sebuah riwayat berasal dari
Ibnu ‘Abbas ra. yang diriwayatkan oleh Ad-Dhahhak, bahwa sebelum ayat tersebut
turun kaum Muslimin memanggil Rasulallah saw. hanya dengan Hai Muhammad, Hai
Ahmad, Hai Abul-Qasim dan lain sebagainya.
Dengan
menurunkan ayat itu Allah swt. melarang mereka menyebut atau memanggil
Rasulallah saw. dengan ucapan-ucapan tadi. Mereka kemudian menggantinya dengan
kata-kata : Ya Rasulallah, dan Ya Nabiyullah.
Hampir
seluruh ulama Islam dan para ahli Fiqih berbagai madzhab mempunyai pendapat
yang sama mengenai soal tersebut, yaitu bahwa mereka semuanya melarang orang
menggunakan sebutan atau panggilan sebagaimana yang dilakukan orang sebelum
ayat tersebut diatas turun.
Didalam
Al-Qur’an banyak terdapat ayat yang mengisyaratkan makna tersebut diatas.
Antara lain firman Allah swt. dalam surat Al-A’raf : 157 ; Al-Fath : 8-9,
Al-Insyirah : 4 dan lain sebagainya.
Dalam
ayat-ayat ini Allah swt. memuji kaum muslimin yang bersikap hormat dan
memuliakan Rasulallah saw., bahkan menyebut mereka sebagai orang-orang yang
beruntung.
Firman
Allah swt. ini mengajarkan kepada kita tatakrama, yang mana dalam firman-Nya
tidak pernah memanggil Rasul-Nya dengan kalimat Hai Muhammad, tetapi memanggil
beliau dengan kalimat Hai Rasul atau Hai Nabi.
Firman-firman
Allah swt. tersebut cukup gamblang dan jelas membuktikan bahwa Allah swt.
mengangkat dan menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak disebut
sayyidina atau junjungan/ pimpinan kita Muhammad Rasulallah saw. Menyebut nama
beliau saw. tanpa diawali dengan kata yang menunjukkan penghormatan, seperti
sayyidina tidak sesuai dengan pengagungan yang selayaknya kepada kedudukan dan
martabat beliau.
Ayat-Ayat
yang Berkaiatn Dengan Gelar Syyid Untuk Pribadi
Dalam
surat Aali-‘Imran:39 Allah swt. menyebut Nabi Yahya as. dengan predikat sayyid
:
“…Allah
memberi kabar gembira kepadamu (Hai Zakariya) akan kelahiran seorang puteramu,
Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang dari) Allah, seorang sayyid
(terkemuka, panutan), (sanggup) menahan diri (dari hawa nafsu) dan Nabi dari
keturunan orang-orang sholeh”.
Para
penghuni neraka pun menyebut orang-orang yang menjerumuskan mereka dengan
istilah saadat (jamak dari kata sayyid), yang berarti para pemimpin. Penyesalan
mereka dilukiskan Allah swt.dalam firman-Nya, yang artinya:
“Dan
mereka (penghuni neraka) berkata : ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah
mentaati para pemimpin (sadatanaa) dan para pembesar kami, lalu mereka menyesat
kan kami dari jalan yang benar”. (S.Al-Ahzab:67).
Juga
seorang suami dapat disebut dengan kata sayyid, sebagaimana yang terdapat dalam
firman Allah swt. dalam surat Yusuf : 25, yang artinya:
“Wanita
itu menarik qamis (baju) Yusuf dari belakang hingga koyak, kemudian
kedua-duanya memergoki sayyid (suami) wanita itu didepan pintu”. Dalam kisah
ini yang dimaksud suami ialah raja Mesir.
Demikian
juga kata Maula yang berarti pengasuh, penguasa, penolong dan lain sebagainya.
Banyak terdapat didalam Al-Qur’anul-Karim kata-kata ini, antara lain dalam
surat Ad-Dukhan: 41 Allah berfirman, yang artinya:
“…Hari
(kiamat) dimana seorang maula (pelindung) tidak dapat memberi manfaat apa pun
kepada maula (yang dilindunginya) dan mereka tidak akan tertolong”.
Firman
Allah swt. dalam Al-Maidah : 55 disebutkan juga kalimat Maula untuk Allah swt.,
Rasul dan orang yang beriman.
Kalau kata
sayyid itu dapat digunakan untuk menyebut Nabi Yahya putera Zakariya, dapat
digunakan untuk menyebut raja Mesir, bahkan dapat juga digunakan untuk menyebut
pemimpin -yang semuanya itu menunjukkan kedudukan seseorang- alasan apa yang
dapat digunakan untuk menolak sebutan sayyid bagi junjungan kita Nabi
Muhammad saw. Demikian pula soal penggunaan kata maula. Apakah bid’ah jika
seorang menyebut nama seorang Nabi yang diimani dan dicintainya dengan awalan
sayyidina atau maulana ?!
Mengapa
orang yang menyebut nama seorang pejabat tinggi pemerintahan, kepada para
presiden, para raja atau menteri, atau kepada diri seseorang dengan awalan
‘Yang Mulia’ , Pemimpin kita yang mulia, dan lain sebagainya, tidak dituduh
berbuat bid’ah?
Tidak
salah kalau ada orang yang mengatakan, bahwa sikap menolak penggunaan kata
sayyid atau maula untuk mengawali penyebutan nama Rasulallah saw. itu sesungguh
nya dari pikiran meremehkan kedudukan dan martabat beliau saw. Atau
sekurang-kurang hendak menyamakan kedudukan dan martabat beliau saw. dengan
manusia awam/biasa.
Sebagaimana
kita ketahui, dewasa ini masih banyak orang yang menyebut nama Rasulallah saw.
tanpa diawali dengan kata sayyidina dan tanpa dilanjutkan dengan kalimat
sallahu ‘alaihi wasallam (saw). Menyebut nama Rasulallah dengan cara demikian
menunjukkan sikap tidak kenal hormat pada diri orang yang
bersangkutan. Cara demikian itu lazim dilakukan oleh orang-orang diluar
Islam, seperti kaum orientalis barat dan lain sebagainya. Sikap kaum orientalis
ini tidak boleh kita tiru.
Hadits-Hadits
yang Berkaitan Kata Sayyid, diantaranya;
Setiap
anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi isterinya dan seorang
isteri adalah sayyidah bagi keluarganya (rumah tangga nya)”. (HR Bukhari dan Adz-Dzahabi).
Jadi kalau
setiap anak Adam saja dapat disebut sayyid, apakah anak Adam yang paling tinggi
martabatnya dan paling mulia kedudukannya disisi Allah -yaitu junjungan kita
Nabi Muhammad saw. - tidak boleh disebut sayyid ?
Hadits
riwayat Imam Bukhari, Rasulallah saw bersabda: "Janganlah kalian berkata
(kepada seorang budak kepada majikannya), 'beri makan Rabb mu, wudhu kan Rabb
mu, tapi ucapkanlah Sayyidi dan Maulaya (tuanku dan junjunganku)', dan jangan
pula kalian (para pemilik budak) berkata pada mereka,'wahai Hambaku, tapi
ucapkanlah : wahai anak, wahai pembantu" (shahih Bukhari hadits no.2414)
hadits semakna dalam Shahih Muslim hadits no.2249).
Rasulallah
saw. membolehkan ucapan sayyidi (tuanku) atau maulaya (tuan muliaku) seorang
budak terhadap tuannya, dan berkata para ahli hadits, kalau antara tuan yg
memiliki budak saja boleh menggunakan Sayyidi wa Maulaya., atau sayyidina wa
maulana, maka sungguh Nabi saw jauh lebih berhak dari semua pemilik budak itu !
Didalam
Shahih Muslim terdapat sebuah hadits, bahwasanya Rasulallah saw. memberitahu
para sahabatnya, bahwa pada hari kiamat kelak Allah swt. akan menggugat
hamba-hambaNya: “Bukankah engkau telah Ku-muliakan dan Ku-jadikan sayyid ?” (alam ukrimuka wa usawwiduka?)
Makna
hadits itu ialah, bahwa Allah swt. telah memberikan kemuliaan dan kedudukan
tinggi kepada setiap manusia. Kalau setiap manusia dikarunia kemuliaan dan
kedudukan tinggi, apakah manusia pilihan Allah yang diutus sebagai Nabi dan
Rasul tidak jauh lebih mulia dan lebih tinggi kedudukan dan martabatnya
daripada manusia lainnya ? Kalau manusia-manusia biasa saja dapat disebut
sayyid , mengapa Rasulallah saw. tidak boleh disebut sayyid atau maula ? (mnm)
http://www.everyoneweb.com/tabarruk#Dalildalillaranganmensesatkanmengkafirkansesamamuslimin