Kemarahan Amien Rais: Bung Jokowi, Selesaikan Skandal Ahok!
Oleh Amien Rais - Mantan Ketua MPR-RI
SAYA tulis pendapat saya ini sebagai masukan kepada Bung Jokowi. Saya yakin kasus penistaan Ahok pada Alquran menuntut penyelesaian secepatnya, langsung di bawah pengarahan dan pengawasan Presiden. Lihatlah rangkaian demo yang makin marak di berbagai daerah.
SAYA tulis pendapat saya ini sebagai masukan kepada Bung Jokowi. Saya yakin kasus penistaan Ahok pada Alquran menuntut penyelesaian secepatnya, langsung di bawah pengarahan dan pengawasan Presiden. Lihatlah rangkaian demo yang makin marak di berbagai daerah.
Rentetan demo itu bersifat spontan.
Intinya: permintaan maaf dari Ahok diterima, tapi proses hukum yang
adil, jujur, dan transparan harus segera dilakukan.
Saya, sebagai seorang Muslim, sangat-sangat
tersinggung dan terhina dengan ucapan Ahok bahwa ayat 51 Surah
al-Maidah digunakan untuk membohongi masyarakat. Untuk memilih atau
tidak memilih seseorang. Ucapan itu menyiratkan rasa benci Ahok pada
Alquran, kitab suci umat Islam seluruh dunia, sejak 14 abad silam.
Alquran memberitahu kaum beriman bahwa
ungkapan kebencian terkadang muncul jelas dari mulut-mulut pembenci
Islam. Namun yang tersembunyi di dada mereka jauh lebih besar (QS Ali
Imran: 118). Umat Islam Indonesia karena rasa tasamuh-nya
(toleransinya) demikian besar, seringkali dianggap bodoh, mudah
dibodohi, dan punya daya tahan istimewa menghadapi berbagai macam
penghinaan. Penghinaan politik, penghinaan sosial, dan penghinaan
ekonomi.
Umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia
umumnya, cukup marah dengan berbagai keputusan Menkumham sekarang yang
cenderung memecah-belah berbagai kekuatan politik anak-anak bangsa.
Tentu pemerintah bodoh karena usaha pecah-belah itu dalam jangka panjang
akan jadi bumerang bagi pemerintah sendiri.
Akan tetapi, lihatlah berbagai kekuatan
politik itu menelan kemarahan mereka. Semarah apa pun mereka tidak
bergerak. Mereka tetap sabar.
Ketika masyarakat merasakan kehidupan yang
makin sulit, pengangguran makin meluas, dan angka kemiskinan bertambah,
rakyat tetap sabar. Mereka cukup geram, tapi tidak bergerak secara
massal. Mereka tetap sabar sambil berharap semoga esok bisa lebih bagus
dari hari ini.
Ketika kekuatan asing dan aseng menggenggam
seluruh sektor ekonomi nasional, lagi-lagi umat Islam dan anak bangsa
lainnya tetap bersabar. Lihatlah seluruh sektor ekonomi penting telah
berada di tangan asing dan aseng.
Sejak dari properti, perbankan,
pertambangan, pertanian, kehutanan, sampai perkebunan, dan lain-lain,
sudah tidak lagi di tangan anak-anak bangsa. Penguasaan tanah di
berbagai kota besar juga berada di tangan agen-agen kepentingan asing
dan aseng. Tujuh puluh delapan persen tanah di DKI Jakarta sudah
dimiliki oleh para benalu bangsa.
Marahkah rakyat Indonesia? Tentu! Tetapi
mereka telan kemarahan itu dengan kesabaran yang tidak ada duanya di
dunia. Lagi-lagi, rakyat hanya berkeluh-kesah, tapi tidak bergerak.
Ketika hukum dilaksanakan secara
tebang-pilih atau diskriminatif, rakyat marah, tetapi tetap tidak
bergerak. Ketika korupsi berskala raksasa jelas-jelas dilindungi, sejak
dari skandal BLBI, Bank Century, deforestasi (penghancuran hutan),
sampai yang terbaru skandal Sumber Waras dan reklamasi Teluk Jakarta,
rakyat hanya berkeluh-kesah, geram, marah, nyaris putus asa. Tetapi
mereka tidak bergerak. Sabar dan tetap sabar.
Nah, Bung Jokowi, kasus Ahok merupakan
skandal dari jenis yang sangat berbeda. Berbagai skandal yang saya
sebutkan di atas, cuma skandal berdimensi dunia, walaupun sangat menohok
rasa keadilan rakyat.
Bung Jokowi, kasus Ahok mengguncangkan
Indonesia karena Ahok sudah menyodok kesucian langit. Ahok sudah
benar-benar kelewatan. Saya sependapat dengan KH Hasyim Muzadi, siapa
pun yang berani menista Allah, Rasul-Nya, dan Alquran tidak ada yang
bisa selamat. Mengapa? Karena umat Islam di manapun berada, tidak pernah
bisa menerima penistaan terhadap Allah, Rasul-Nya, dan Kitab Suci-Nya.
Mohon dimengerti pula usaha apa pun yang
dilakukan untuk membelokkan fokus perhatian lewat berbagai cara agar
skandal Ahok pelan-pelan menghilang, pasti akan sia-sia. Yang terjadi
justru semakin ditunda penyelesaian hukum skandal Ahok, semakin tinggi
risiko yang kita hadapi.
Setelah peristiwa skandal Ahok di Kepulauan
Seribu, ia ngomong kacau lagi tentang Pancasila. Katanya, Indonesia
yang berdasar Pancasila menjadi utuh hanya apabila minoritas sudah
menjadi presiden. Tentu banyak rakyat yang marah pada celotehan ini,
tetapi segeram apa pun rakyat tetap tidak turun ke jalan.
Semoga Bung Jokowi cukup arif untuk
memahami bahwa skandal Ahok di Kepulauan Seribu itu telah menjadi bom
waktu yang daya ledak sosial-politiknya dapat mengguncangkan sendi-sendi
stabilitas nasional dan persatuan bangsa.
Akankah kita unggulkan seorang Ahok di atas
kepentingan 250 juta bangsa Indonesia? Jasa besar apa yang pernah
ditorehkan oleh Ahok untuk bangsa Indonesia?
Bung Jokowi, kami semua tahu bahwa Kapolri
dan seluruh jajaran Polri berada dalam kendali Anda. Terus terang
kasihan Kapolri harus memikul tanggung jawab untuk penyelesaian hukum
kasus skandal Ahok dan menjadi sasaran kritik masyarakat sampai
sekarang.
Lucunya, Anda belum berkata sepatah kata pun sampai sekarang tentang skandal Ahok. Sungguh aneh. Ada apa gerangan?
Bola penyelesaian skandal Ahok yang sangat berbahaya itu ada di tangan Anda. Hentikanlah permainan image building (pencitraan) Anda. Di sebuah kesempatan, Anda bicara, biarlah KPK mengurusi korupsi gede, sementara Anda yang kecil-kecil.
Pungli sepuluh ribu rupiah pun akan Anda
kejar. Saya yakin decak kagum masyarakat yang dulu Anda nikmati,
sekarang sudah berubah total. Rakyat kita sudah cukup cerdas, membedakan
mana emas, mana loyang.
Saya doakan Bung Jokowi bisa mengambil langkah cepat, bijak, dan tepat. We are racing against time, kita berlomba dengan waktu.
Skandal Ahok penting mbahnya penting
untuk segera diselesaikan secara hukum. Jangan berputar dan berkeliling
membeli waktu dengan harapan skandal Ahok dapat meredup, dan akhirnya
selesai dengan sendirinya. Sesuatu yang mustahil. Bung Jokowi, saya
hanya mengingatkan. []
Sumber: Republika 28 Oktober 2016