Amanat PBNU di Hari Santri Nasional 2016
PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA
MENYAMBUT HARI SANTRI
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين اللهم صل وسلم على سيدنا ومولانا محمد وعلى اله وصحبه أجمعين.
أما بعد
Puji
Syukur kehadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan kita karunia Iman
Islam, sehat jasmani dan rohani, serta keselamatan sehingga kita dapat
dipertemukan dalam keberkahan dan kebersahajaan.
Sholawat
serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya,
dengan harapan semoga kita semua mendapatkan syafa’at dari Baginda
Rasulullah SAW.
Hari ini Keluarga Besar
Nahdlatul Ulama dan seluruh rakyat Indonesia memperingati sebuah
peristiwa yang sangat penting dalam rangka mengenang jasa para ulama dan
kaum santri dalam mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia
dari rongrongan penjajahan. Penghormatan dan pengakuan negara atas jasa
serta peran para ulama dan kaum santri ini termaktub dalam Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang HARI SANTRI.
Sejarah
mencatat bahwa para ulama dan santri telah mewakafkan hidupnya untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mewujudkan cita-cita
kemerdekaan sebagai pintu gerbang menuju masyarakat adil dan makmur.
Para santri dengan caranya masing-masing bergabung dengan seluruh elemen
bangsa melawan penjajah, menyusun kekuatan di daerah-daerah terpencil,
mengatur strategi, mengajarkan tentang arti kemerdekaan, kedaulatan dan
kebhinekaan bangsa Indonesia.
Hari ini, 71
tahun yang lalu, bangsa Indonesia hampir saja mengalami situasi pelik
dan hampir tidak bisa melepaskan diri dari penjajahan.
Meletusnya
pertempuran tanggal 26 Oktober hingga 9 Nopember 1945 di Surabaya
antara rakyat sipil dengan tentara sekutu NICA, pemicu utamanya adalah
fatwa RESOLUSI JIHAD NU yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945 oleh para
ulama di bawah komando Rois Akbar Jam’iyyah Nahdlatul Ulama yakni KH.
Muhammad Hasyim Asy’ari. Resolusi Jihad NU adalah perintah lurus dari
para alim ulama kepada umat Islam di sekitar pulau Jawa yang masuk pada
radius masafatul qosr (مسافة القصر)
dimana dihukumkan WAJIB bagi mereka untuk membela Tanah Air. Kewajiban
membela tanah air artinya saat itu adalah perintah untuk melawan tentara
sekutu NICA.
Ketika itu, ulama-ulama dari Jawa
dan Madura berkumpul di Surabaya dipimpin langsung oleh KH. Muhammad
Hasyim Asy’ari, dan diikuti tokoh-tokoh antara lain: KH. Abdul Wahab
Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Ahmad Hasan, Kiai Mas Abdurrahman,
KH. Abdul Halim, dan banyak lagi. Rapat ini sempat tertunda sampai
dengan datangnya ulama yang dikenal dengan julukan“Singa dari Jawa
Barat” yakni KH. Abbas Abdul Jamil dari Pesantren Buntet Cirebon yang
kemudian ditunjuk sebagai komandan LASKAR HIZBULLAH.
Para
komandan resimen yang turut membantu Kiai Abbas antara lain KH. Abd.
Wahab Hasbullah, Bung Tomo, Cak Roeslan Abdulgani, KH. Mas Mansur, dan
Cak Doel Arnowo. Bung Tomo melalui pidatonya yang disiarkan radio
membakar semangat para pejuang dengan pekik takbirnya untuk bersiap
syahid di jalan Allah SWT. ALLAHU AKBAR. ALLAHU AKBAR. ALLAHU AKBAR.
Fakta
sejarah perlawanan terhadap NICA yang berujung pada pertempuran sengit
inilah yang kemudian kita kenal dengan peristiwa 10 Nopember. Kaum
santri berhasil merobek bendera Merah Putih Biru yang diganti dengan
bendera Merah Putih di atas Hotel Oranje Surabaya. Kaum santri berhasil
merebut kembali keadaan dengan mengalahkan pasukan NICA yang dipimpin
oleh Brigjen Mallaby. Tak kurang dari 20.000 santri gugur dalam
pertempuran tersebut.
Atas peranannya yang
begitu dahsyat, Sayyid Muhammad As’ad Shihab menyebutkan dalam salah
satu karyanya bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari adalah awwalu wadi’ labinati istiqlali Indonesia ( أول واضع لبينة استقلال اندونيسيا ), “Peletak dasar-dasar kemerdekaan Indonesia”.
Selang
beberapa bulan setelah terjadi pertempuran dahsyat di Surabaya, di mana
sipil dan santri menjadi aktor utamanya, mata dunia perlahan mulai
terbuka. Mereka mengakui fakta baru bahwa “Indonesia” adalah negara yang
telah merdeka dan berdaulat.
Tanpa RESOLUSI
JIHAD NU tentu tidak pernah ada peristiwa 10 Nopember. Tanpa RESOLUSI
JIHAD NU, kemerdekaan yang telah diproklamasikan oleh Bung Karno dan
Bung Hatta tanggal 17 Agustus 1945, tentu akan tercabik-cabik kembali
oleh upaya pengambilalihan kedaulatan yang dimotori tentara NICA. Inilah
wujud ajaran dari Hadratussyeikh yang meletakkan kewajiban bela negara
adalah sama pentingnya dengan kewajiban membela agama.
" حب الوطن من الإيمان",
Cinta Tanah Air adalah bagian dari Iman
Marilah
kita jadikan momentum Hari Santri 22 Oktober ini untuk meneguhkan
kesetiaan mengawal dan mempertahankan Pancasila, NKRI serta UUD 1945.
Membaca
sejarah nasional tidak mungkin mengabaikan kaum santri yang telah
teruji dalam mengawal negeri ini. Di tengah berbagai masalah yang
mendera bangsa Indonesia saat ini, perlu kiranya seluruh elemen bangsa
merenungi kiprah dan etos jihad kaum santri. Etos jihad kaum santri
berdiri di atas tiga pilar, yaitu Nahdlatul Wathan (pilar kebangsaan), Tashwîrul Afkâr (pilar ke-cendekia-an), dan Nahdlatut Tujjâr (pilar kemandirian).
Pilar
kebangsaan perlu terus dipupuk dan dikembangkan di tengah tarikan faham
fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar. Pilar ke-cendekia-an
harus ditegakkan karena kecendekiaan adalah pilar peradaban dan syarat
sebuah bangsa meraih harkat dan martabatnya di hadapan bangsa lain.
Kecendekiaan tidak hanya diukur dari pendidikan formal tetapi mental dan
nalar intelektual yang terbuka terhadap pemikiran dan inovasi baru,
dengan berpedoman pada kaidah; al-muhâfadhah ala-l qadîmis shâlih wa-l akhdzu bi-l jadîdi-l ashlah (Melestarikan tradisi lama yang baik dan menciptakan tradisi baru yang lebih baik).
Khazanah
intelektual Islam yang diakrabi pesantren merupakan modal intelektual
tak ternilai yang menempatkan santri sebagai pewaris sah kebangkitan
Islam masa depan. Inklusivisme kaum santri perlu dipupuk di tengah
ketertinggalan umat Islam dalam penemuan-penemuan ilmiah dan inovasi
sains dan teknologi. Jihad santri adalah memerangi kebodohan dan
mengintegrasikan penguasaan ilmu duniawi dan ukhrawi.
Pilar
kemandirian adalah prasyarat mutlak maju-mundurnya sebuah bangsa. Tidak
ada bangsa yang maju dengan tergantung kepada bangsa lain. Bangsa kita
belum mandiri dalam memenuhi hajat hidup pokok warganya. Sebagian besar
kebutuhan pangan dan energi diperoleh dari impor, padahal Indonesia
negara agraris yang dikaruniai berbagai sumber daya alam di laut, hutan,
dan di bawah permukaan bumi. Harus diingat, ketergantungan adalah
antitesis kemerdekaan.
Hari ini adalah saat
terbaik bagi kita untuk dapat memaknai Hari Santri sesuai dengan
perkembangan dan dinamika zaman yang berkembang. Tantangan yang kita
hadapi hari ini meskipun berbeda, akan tetapi semangat dan integritas
berbangsa dan bernegara tidak boleh terputus. Apalagi di tengah arus
budaya popular dan juga silang sengkarut ideologi trans-nasional yang
sudah sedemikian masif ini, penguatan nasionalisme dan patriotisme
rakyat Indonesia sangat-sangat dibutuhkan.
Tantangan
kita yang pertama, menghadapi berbagai ancaman seperti ideologi yang
mengancam eksistensi kesatuan Republik Indonesia harus kita lawan. ISIS
dan sekelompok organisasi yang menjadikan radikalisme dan terorisme
sebagai wahana untuk berdakwah, harus kita lawan. Sudah terlalu banyak
negara yang hancur diakibatkan cara pandang yang keliru meletakkan makna
jihad yang justru melahirkan kekacau-balauan. Demikian juga dengan
segenap organisasi masyarakat yang anti serta menolak ideologi
Pancasila, mereka juga harus kita luruskan.
Nahdlatul
Ulama senantiasa mengajarkan Islam menjadi pionir dalam mewujudkan
perdamaian dunia. Nahdlatul Ulama senantiasa mengajarkan dakwah Islam
yang ramah, bukan Islam yang marah. Islam yang mengajak bukan mengejek.
Islam adalah agama yang mengajarkan kita dapat merangkul, bukan memukul.
Tantangan kedua, masih tingginya angka kemiskinan dan Gini Rasio kita yang menyebabkan adanya ketimpangan sosial antara yang kaya dan miskin, adalah masalah yang harus kita tuntaskan.
Pada
Desember 2015, World Bank merilis bahwa 1% orang terkaya Indonesia
menguasai sekitar 50,4% aset dan 10% orang terkaya Indonesia menguasai
70,3% total kekayaan di Indonesia. Artinya, pembangunan belum merata dan
belum menyentuh rakyat miskin dan kaum lemah. Padahal Islam
mengajarkan, ekonomi harus tumbuh atas azas keadilan dan pemerataan.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-Hasyr ayat 7;
" كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنكُمْ ۚ "
“Janganlah harta itu berputar-putar diantara orang-orang kaya saja diantara kalian”.
Tantangan
ketiga adalah meluasnya penggunaan narkoba di seluruh kelas sosial
masyarakat. Ini keprihatinan nasional kita. Negara tengah menghadapi
Darurat Narkoba. Data menunjukkan sampai tahun 2016 jumlah pengguna
Narkoba sebanyak 4 juta orang. 1,6 Juta pernah mencoba. 1,4 Juta orang
rutin mengkonsumsi dan 943 ribu orang sudah dalam kondisi kecanduan.
Data ini menunjukkan bahwa hari ini kita sedang mengalami DARURAT
NARKOBA.
Maka dalam memperingati Hari Santri, tugas kita hari ini adalah:
1. Jihad melawan segala bentuk anarkisme, radikalisme dan terorisme yang bertentangan dengan Pancasila & NKRI.
2. Jihad memerangi kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan kita.
3. Jihad melawan narkoba, dan bersama-sama menjadikan Indonesia sebagai negara yang bersih dari peredaran Narkoba.
Dalam
momentum hari santri kali ini, yang paling utama dan penting untuk
diteladani adalah bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari adalah sosok kiai
yang sepanjang hayatnya tetap mengindentifikasi dirinya sebagai santri.
Sikap santri inilah yang melahirkan sikap tawaddu’ dan juga rendah hati
di hadapan siapapun.
Kita harus bersyukur
memiliki seorang ulama yang bukan saja jernih melihat, namun juga cerdas
bertindak, dan teguh dalam memegang prinsip. KH. Muhammad Hasyim
Asy’ari tidak lahir kemudian menjadi tokoh begitu saja. Hadratussyeikh
sebagaimana lazimnya manusia lainnya, digembleng melalui pendidikan
agama yang penuh kedisiplinan dan ketaatan.
Hari
Santri 22 Oktober adalah milik semua golongan. Maka dalam momentum
peringatan Hari Santri 22 Oktober ini, marilah kita jadikan sebagai
tonggak untuk bersatu, jangan sekali-kali kita berpecah belah.
Perpecahan adalah penyebab kelemahan, kekalahan dan kegagalan di
sepanjang zaman. Mari kita songsong kehidupan yang lebih baik, yang
maslahah untuk semua. Selamat Hari Santri.
شكرا ودمتم في الخير والبركة والنجاح
والله الموفق إلى أقوم الطريق
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, 22 Oktober 2016
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama,
Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, MA