Tangisan Akan Berlalunya Ramadhan
Oleh : Wawan N. Palowa, S.HI
“Di
malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh
petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga
keistimewaannya.”
Waktu terus
bergulir dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari
hari ke hari, dari minggu ke minggu…. Rasanya baru kemarin kita begitu
bersemangat mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan, bulan
tarbiyah, bulan latihan, bulan Quran, bulan maghfirah, bulan yang penuh
berkah.
Namun beberapa saat lagi,
Ramadhan akan meninggalkan kita, padahal kita belum optimal melaksanakan
qiyamul lail kita, belum optimal membaca Al-Quran serta belum optimal
melaksanakan ibadah-ibadah lain, target-target yang kita pasang belum
semuanya terlaksana. Dan kita tidak akan pernah tahu apakah kita masih
dapat berjumpa dengan Ramadhan berikutnya.
Bagi
para salafush shalih, setiap bulan Ramadhan pergi meninggalkan mereka,
mereka selalu meneteskan air mata. Di lisan mereka terucap sebuah doa
yang merupakan ungkapan kerinduan akan datangnya kembali bulan Ramadhan
menghampiri diri mereka.
Orang-orang
zaman dahulu, dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati mereka mejadi
sedih. Maka, tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan,
pada masa Rasulullah SAW, Masjid Nabawi penuh
sesak dengan orang-orang yang beri’tikaf. Dan di sela-sela i’tikafnya,
mereka terkadang menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera
berlalu meninggalkan mereka.
Ada satu
riwayat yang mengisahkan bahwa kesedihan ini tidak saja dialami
manusia, tapi juga para malaikat dan makhluk-makhluk Allah lainnya.
Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Di
malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh
petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga
keistimewaannya. Ini merupakan musibah bagi umatku.”
Kemudian ada seorang sahabat bertanya, “Apakah musibah itu, ya Rasulullah?”
“Dalam
bulan itu segala doa mustajab, sedekah makbul, segala kebajikan
digandakan pahalanya, dan siksaan kubur terkecuali, maka apakah musibah
yang terlebih besar apabila semuanya itu sudah berlalu?” Ketika mereka
memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes.
Hati mereka sedih.
Betapa tidak.
Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah itu akan segera pergi
meninggalkan kita. Bulan ketika orang-orang berpuasa dan menghidupkan
malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah bukakan pintu-pintu
surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu setan.
Bulan
yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya
pembebasan dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa
lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi.
Bulan
ketika Allah setiap malamnya membebaskan ratusan ribu orang yang harus
masuk neraka. Bulan ketika Allah menjadikannya sebagai penghubung antara
orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Ta’ala.
Mereka
menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan.
Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan
dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi
mereka tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang.
Jika
kita merenungi kondisi salafush shalih dan meneliti bagaimana mereka
menghabiskan waktu-waktu mereka di bulan Ramadhan, bagaimana mereka
memakmurkannya dengan amal shalih, niscaya kita mengetahui jauhnya jarak
di antara kita dan mereka.
Bagaimana
dengan kita? Adakah kesedihan itu hadir di hati kita di kala Ramadhan
meninggalkan kita? Atau malah sebaliknya, karena begitu bergembiranya
menyambut kedatangan Hari Raya ‘Idul Fithri, sampai-sampai di sepuluh
hari terakhir, yang seharunya kita semakin giat melaksanakan
amalan-amalan ibadah, kita malah disibukkan dengan belanja, membeli baju
Lebaran, disibukkan memasak, membuat kue, dan lain-lain. (kemenag gorontalo/**)