Pesan Khatib Shalat Id di Masjid Istiqlal: Keberhasilan Beragama Diukur Kesalehan Sosial


SHALAT IDUL FITRI 1437H DI ISTIQLAL
Selesainya ibadah formal seperti puasa dan amaliah lainnya, bukan berarti segala urusan agama selesai. Ukuran keberhasilan keberagamaan ternyata diukur dengan hal-hal yang bersifat sosial kemasyarakatan.

“Orang yang hanya mengutamakan ibadah ritual tanpa melahirkan makna dan efek sosial ternyata tidak ada artinya. Segalanya baru berarti setelah diuji di dalam realitas kehidupan,” demikian pesan Khatib Salat Idul Fitri di Masjid Istiqlal KH Nasaruddin Umar, Jakarta, Rabu 6 Juli 2016.
Ratusan ribu umat Islam memadati Masjid Istiqlal melaksanakan Shalat Idul Fitri 1437H. Tampak hadir, Wapres Jusuf Kalla, Menag Lukman Hakim Saifuddin beserta menteri kabinet kerja lainnya, serta pimpinan dan anggota DPR. Tepat pukul 06.45, Salat Id dimulai dengan Imam Ust. Husni Thamrin.
Imam Besar Masjid Istiqlal ini mengajak umat Islam untuk tidak beragama secara palsu yang minim kepedulian sosial sebagaimana dilukiskan dalam pesan Al Quran Surat Al Maun ayat 1 – 7.
“Tahukah kalian siapa orang yang mendustakan agama? Mereka itulah orang yang menghardik dan tidak care terhadap anak yatim, tidak menganjurkan memberi makan dan solusi terhadap problem fakir miskin. Maka celakalah bagi mereka yang salat, yang lalai dari salatnya; orang-orang yang berbuat ria dan enggan (menolong dengan) barang berharga,” tuturnya.
Sehubungan berakhirnya Ramadan, guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengajak umat Islam untuk memelihara kualitas puasanya dengan bersyukur dan bersabar, ikhlas dan istiqamah, kritis dan santun, serta berani membela kebenaran dan takut melakukan pelanggaran.
“Bukan hanya pandai melihat kelemahan orang lain tapi juga pandai melihat kelemahan diri sendiri. Bukan hanya mampu bicara banyak tapi juga mampu berbuat banyak. Bukan hanya mampu menjadi orang baik, tapi juga mampu mempersiapkan generasi masa depan yang lebih baik,” pesannya.
Melalui mimbar Masjid Istiqlal, Khatib Salat Id yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal mengajak umat Islam untuk menjadikan Syawal sebagai momentum menyiapkan generasi Qurani dengan melakukan pembenahan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
“Tantangan kita ke depan adalah bagaimana mempersiapkan generasi bangsa dan umat yang lebih tangguh, kompetitif, dan lebih produktif, yakni generasi yang hidup di bawah bayang-bayang Al-Quran,” demikian pesan  KH Nasaruddin Umar.
Sesuai tema khutbahnya, Mempersiapkan Generasi Qurani, Mantan Wakil Menag ini berpesan tentang pentingnya membenahi lingkungan keluarga, lingkungan kampus, lingkungan masyarakat. Terkait keluarga, Nasaruddin mengkritisi fenomena anak tumbuh jauh dari didikan orang tua karena kesibukan mereka. “Lingkungan keluarga adalah madrasah paling awal untuk melahirkan generasi Qurani. Jangan biarkan anak-anak kita merasa yatim di tengah kehadiran orang tuanya sendiri,” pesannya.
Tentang lingkungan sekolah-kampus, mantan Dirjen Bimas Islam ini berpesan tentang posisi strategis lembaga pendidikan sebagai sarana menggodok pribadi tangguh yang mampu memompakan semangat intelektual spiritual yang komprehensif. “Mempersiapkan generasi qurani masa depan, sudah saatnya kita mengembalikan tradisi keilmuan Islam yang menghargai bahkan menjunjung tinggi moral keilmuan,” katanya.
Terkait pembenahan masyarakat, KH Nasaruddin mengkritisi fenomena perubahan gaya hidup masyarakat. Menurutnya, atas nama reformasi, karakter dan identitas bangsa dikaburkan. Atas nama demokrasi, kesantunan publik ditabrak. Atas nama keterbukaan, aib orang dibongkar. Atas nama kebebasan pers, kode etik ditinggalkan. Atas nama transparansi, rahasian negara dibocorkan. Atas nama pemberantasan korupsi, fitnah merajalela. Atas nama globalisasi, nilai-nilai lokal disingkirkan. Atas nama kebebasan beragama, aliran menyimpang ditolerir.
Perubahan lainnya, atas nama kebebasan akademik, guru, dosen dan ulama dimaki-maki. Atas nama pendapatan asli daerah, pariwisata seksual dibuka. Atas nama kesetaraan gender, Al Quran dan hadis digugat. Atas nama pelestarian nilai leluhur, budaya khurafat dilestarikan. Atas nama pemurnian agama, kearifan lokal dibid’ahkan. Atas nama mazhab, orang lain dikafirkan. Atas nama agama, pemerintah dimakzulkan. Dan atas nama kepentingan politik, kebohongan publik ditolerir.
Untuk menyiapkan generasi Qurani, KH Nasaruddin menegaskan bahwa sistem kemasyarakatan yang cuek dan permisif harus diubah. “Sudah saatnya semua pihak untuk bersama-sama memikul amanah besar demi untuk generasi masa depan,” tandasnya sembari menyitir QA An Nisa ayat 9.
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (kemenag.goid)

Subscribe to receive free email updates: