Fethullah Gulen, Gus Dur-nya Turki
Fethullah Gulen (freebeacon.com) |
Oleh Syaikhul Islam*
Sejak
mangkatnya Gus Dur beberapa waktu lalu, saya terus dihantui keresahan
akan masa depan dan bahkan kerisauan atas jati diri saya sendiri. Saya
tidak berpikir untuk meributkan gelar pahlawan untuk beliau, tidak pula
terbersit untuk mendebatkan benar tidaknya kewalian beliau. Alih-alih
untuk meratapi kepergian beliau, untuk berziarah ke makamnya yang sudah
dikunjungi puluhan ribu orang itu pun saya belum tergerak. Semua itu
karena saya lebih kehilangan sosok Gus Dur sebagai seorang intelektual
dan pemimpin bukan sebagai ratu adil atau satrio piningit apalagi wali.
Seperti kata orang bijak: “tidak ada orang sempurna dalam segala hal,
tidak ada orang hebat dalam segala bidang” banyak sisi dari Gus Dur yang
sampai saat ini belum atau tidak bisa saya terima.
Sosok
Gus Dur memang unik. Gabungan antara pemikir yang idealis dan pemimpin
yang populis. Seseorang yang mencetuskan gagasan visioner sekaligus
menyulap implikasi gagasan tersebut hadir ke alam nyata. Seorang berjiwa
pengayom khas korps Kiai tetapi bisa juga lihai dan piawai melebihi
politikus sejati. Beberapa orang beranggapan sosok seperti Gus Dur belum
tentu ada satu dalam seratus tahun, dan tampaknya diam-diam saya
mengamini anggapan ini. Seketika itu minat saya untuk membaca
tulisan-tulisan Gus Dur menjadi sangat besar. Dan betapa kecewanya saya
karena tulisan-tulisan beliau yang saya jumpai, belum mampu mengobati
kehausan saya kepada sosok seperti beliau.
Rasa
kecewa membuat saya terus berpikir untuk menemukan sosok lain yang
seperti Gus Dur di dunia ini, seraya berharap dapat membaca
karya-karyanya dan belajar banyak darinya. Tiba-tiba saya teringat
dengan pengalaman tiga tahun lalu. Saat itu akhir Januari 2007 di Cairo
International Book Fair saya berkenalan dengan seorang penjual buku
bernama Mehmet Tuzun asal Izmir-Turki. Dengan bahasa Inggris
terbata-bata ia mempersilahkan saya melihat koleksi buku-buku di
outletnya. Dia menyebut banyak sekali nama penulis-penulis Turki, meski
hanya sedikit nama yang pernah saya dengar. Dengan bersemangat dia mulai
menunjukkan jilid demi jilid Risalet al-Nur
karya teosof Turki abad 20, Badiuzzaman Sai’d Nursi dan beberapa buku
tentang puisi-puisi mistikus Yunus Emre tapi saya masih bergeming untuk
membeli. Saat saya sedang asyik melihat buku-buku Nursi versi terjemah
Indonesia, dia membawa dua buku bahasa Inggris satu berjudul The Messenger of God MUHAMMAD satu lagi berjudul Toward a Global Civilization of Love and Tolerance.
Dia memberikan dua buku itu kepada saya, tapi ketika saya hendak
membuka daftar isi—sebagaimana kebiasaan saya saat membeli buku— dia
menghentikan saya dan menunjukkan nama pengarang di sampul depan: M.
Fethullah Gulen. Sambil berbisik penjual buku itu bertutur: “he is
nobleman, he is waliyallah”. Saya tertegun, terkesima dengan tingkah
penjual buku ini. Pikiran saya seketika itu kembali pada kaum Nahdliyin
dengan Gus Dur-nya, Dalam benak saya bertanya-tanya: masa di Turki ada
sosok intelektual yang dianggap wali seperti Gus Dur? Entah sihir apa
yang menggugah saya hingga pada akhirnya membeli dua buku tersebut,
meski harga satu buku mencapai 90 pound Mesir (kira-kira 180 ribu
rupiah) harga yang cukup mahal untuk ukuran book fair apalagi untuk mahasiswa ber-budget pas-pasan seperti saya.
Hampir
tiga tahun dua buku karya Fethullah Gulen tersebut tergolek tak
terjamah dalam rak buku saya di Kairo, dan tiga bulan lebih berkalang
debu di dalam kardus sejak dikirim ke Indonesia. Sampai pada awal
Januari lalu beberapa hari setelah mangkatnya Gus Dur saya memungutnya
dan mulai membolak-balik satu persatu halamannya. Sejak awal keinginan
saya membaca Gulen karena berharap ingin ‘menemukan’ Gus Dur kembali.
Rupanya saya sedang beruntung, karena menurut pembacaan saya tipikal
pemikiran dua tokoh besar ini ada banyak kemiripan. Terutama menyangkut
isu-isu kontemporer seperti: pluralisme, humanisme, toleransi,
demokrasi, dialog antar agama hingga terorisme.
Membandingkan Gus Dur dan Gulen
Fethullah
Gulen pemikir Turki kontemporer yang karismatik lahir di Erzurum pada
1941 atau setahun lebih muda dari Abdurrahman Wahid yang lahir di
Jombang pada 1940. Ayahnya Ramiz Gulen adalah seorang pemuka agama yang
disegani. Gulen tumbuh dalam lingkungan agamis nan taat di bawah
pengaruh madzhab fikih Hanafi dan diasuh oleh guru-guru sufi dari
tarekat Naqsyabandiah. Seperti Gus Dur yang sejak kelahiran hingga
pertumbuhannya tak lepas dari dunia pesantren mulai dari Denanyar,
Tebuireng, Tegal Rejo dan Tambak Beras yang semuanya kental dengan tata
nilai yang mensinergikan fikih dan keluhuran etika sufi. Gulen sama
halnya Gus Dur tidak memiliki gelar akademis formal, akan tetapi
memiliki standar tinggi dalam pemahaman Islam, filsafat Barat dan sains
modern melalui pendidikan informal maupun otodidak. Namun, berbeda
dengan Gus Dur yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas al-Azhar
Kairo dan Universitas Baghdad, Gulen tidak pernah meninggalkan Turki
untuk mengais butir-butir pengetahuan.
Pakar
kajian budaya Islam dan masyarakat sipil Asia Tenggara yang juga penulis
biografi Gus Dur Greg Barton menegaskan posisi istimewa Gulen
dibandingkan dengan pemikir Muslim kontemporer yang lain. Barton melihat
keberhasilan Gulen mentransformasi pemikirannya dalam wujud gerakan
sosial yang berpengaruh pada seluruh strata masyarakat Turki modern
sebagai prestasi khusus. Menurut Barton kebanyakan pemikir Muslim
reformis yang sezaman dengan Gulen belum mampu membangun gerakan sosial
yang nyata, kendati pemikiran mereka baik dalam bentuk tulisan maupun
ceramah dapat mempengaruhi dan merubah ribuan pemikir Muslim yang lain
(Barton, 2005). Senada dengan Barton Ali Bulac mendefinisikan sosok
Gulen sebagai kombinasi sempurna antara sosok pemimpin penyeimbang (harmonizing leader) dan sarjana intelektual (intellectual-scholar)
yang mendedikasikan dirinya untuk reformasi sosial dan perbaikan mental
(Bulac, 2005). Gulen memilih dakwah jalan tengah sebagai garis
perjuangan hidupnya. Integritasnya menyampaikan ide-ide perubahan dari
masjid, kedai kopi, kampus dan ruang publik lainnya mendapat respon
positif khalayak. Inspirasi Gulen tentang cinta, perdamaian, toleransi
dan reformasi pendidikan mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat dari
latar belakang yang beragam. Gulen tidak hanya mampu bersikap netral di
tengah gesekan antara Islam kanan versus Islam kiri, Sunni dan Alawi
bahkan perseteruan etnis Turki dan Kurdi tapi juga berusaha menjaga
masyrakat untuk menjauhi konflik-konflik tersebut (Cetin, 2006).
Gerakan
sosial pertama kali dirintis Gulen pada 1963 awalnya berupa kelompok
kecil di kota Izmir Turki selatan. Pada pertengahan 1980 gerakan ini
baru berkembang dengan cepat dengan membangun institusi pendidikan yang
tersebar di seluruh Turki. Sejak awal 1990 gerakan Gulen ini berubah
menjadi gerakan transnasional dan telah menarik pengikut dari berbagai
suku bangsa. Sekolah Hizmet mulai didirikan di negara-negara Asia
Tengah, Eropa dan Australia terutama oleh keturunan Turki di
negara-negara tersebut (Celik-Alan; T. Kuru, 2005; Yavuz, 2005). Pada
era yang sama Gus Dur adalah ikon intelektual Indonesia. Sosok aktivis
HAM, pembela demokrasi dan pejuang kebebasan berpendapat. Seorang
pemikir yang berani sekaligus piawai bertarik ulur dengan pemerintahan
yang otoriter. Maka bukan sesuatu yang mengagetkan jika pada Muktamar NU
ke-27 di Situbondo KH Asa’d Syamsul Arifin selaku pemegang otoritas di
NU saat itu (ahlul halli wal aqdi) memilih Gus Dur sebagai nahkoda
perubahan NU setelah memutuskan kembali ke khittah 1926. Kepemimpinan
Gus Dur di PBNU ditandai dengan keterbukaan dan ruang bebas bagi kader
NU muda untuk mengekspresikan pendapat mereka. Dengan semangat tersebut
Gus Dur bersama dengan NU muda-nya mencoba merumuskan jati diri NU,
hingga muncullah slogan-slogan yang tak akan dilupakan generasi NU
sampai kapanpun yaitu: persaudaraan sesama Nahdliyin (ukhuwah nahdliyah), persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah islamiyah), persaudaraan sebangsa (ukhuwah basyariyah) dan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah).
Pada awal 90-an ide perubahan yang dibangun Gus Dur mulai menampakkan
hasil. Gagasan beliau untuk mendorong para sarjana dan peneliti asing
untuk menulis tentang NU secara perlahan membawa NU berubah dari
organisasi kolot menjadi organisasi yang dikenal di Dunia Internasional
(Ghazali, 2003; Assyaukanie, 2010).
Gulen dan
Gus Dur sama-sama memandang pentingnya toleransi dan humanisme sebagai
landasan utama kehidupan berbangsa, terutama dalam konteks Indonesia dan
Turki yang plural dan majemuk. Menjadi penting untuk menengok kembali,
mengapa Gus Dur dan koleganya KH Ahmad Siddiq sejak awal kepemimpinannya
bersikeras mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara dengn menolak
penerapan syariat Islam? Mengapa Gus Dur merespon dengan antusias setiap
undangan seremonial agama lain? Mengapa Gus Dur membela dan menganak
emaskan kelompok-kelompok minoritas seperti etnis Tionghoa dan keluarga
tahanan politik? Setali tiga uang dengan Gus Dur, Gulen memastikan
toleransi sebagai satu-satunya jalan untuk meraih masa depan sebuah
bangsa. Toleransi bagi Gulen ibarat sebuah benteng yang sangat kuat
untuk menjaga keutuhan sebuah bangsa dari ancaman perbedaan yang
berpotensi mendatangkan perpecahan. Gulen menulis:“Thus,
while walking toward the future as a whole nation, tolerance is our
safest refuge and our fortress against the handicaps that arise from
schism, factions, and the difficulties inherent in reaching mutual
agreement; troubles that lie waiting at every corner”(Gulen, 2004).
Gulen
juga memberi catatan penting bahwa toleransi dan penghargaan kepada
orang lain adalah hal yang sama sekali berbeda dengan masalah hubungan
seseorang dengan Tuhannya. Menghargai nilai manusia bagi seorang yang
percaya kepada Tuhan merupakan sebuah takdir yang tidak akan mampu
diingkari. Gulen berujar: “Accepting
all people as they are, regardless of who they are, does not mean
putting believers and unbelievers on the same side of the scales.
According to our way of thinking, the position of believers and
unbelievers has its own specific value. The Pride of Humanity has a
special position and his place in our hearts is separate from and above
all others” (Gulen, 2004). Sebuah catatan yang mungkin dapat
memberi sedikit pencerahan mengenai sikap Gus dur yang lebih memilih
diam merespon hujatan, cacian dan tuduhan murtad kepada beliau saat
menghadiri undangan dari para pemuka agama lain, berdoa di gereja,
klenteng dan lain-lain.
Dalam ranah politik,
perjuangan Gus Dur dan Gulen juga memiliki kesamaan. Keduanya sama-sama
berangkat dari tradisi politik kultural. Gus Dur selalu mendambakan
gerbong besar Nahdliyin nya menjadi elemen civil society.
Dalam pandangan Gus Dur NU ormas keagamaan yang lain merupakan unsur
paling penting dari kekuatan sipil yang bepotensi menjadi mandiri dan
mampu berhadapan dengan negara (Sa’id Ali, 2008). Cita-cita politik Gus
dur ini terlihat sangat kuat pada awal 90-an ketika NU memilih mendukung
demokrasi dan berhadapan langsung dengan pemerintahan otoriter orde
baru.
Sayangnya cita-tersebut sedikit luntur
dengan didirikannya PKB sebagai ‘partai resmi’ warga NU pasca reformasi,
bahkan menjadi kabur tatkala Gus Dur diangkat sebagai Presiden RI ke-4
(Sa’id Ali, 2008).
Meneruskan tradisi
pendahulunya Sa’id Nursi Gulen agaknya lebih konsisten dalam membangun
masyarakat menjadi lebih modern dan menjauhi politik praktis. Bagi Gulen
membangun pemahaman agama yang inklusif dan humanis di tengah
masyarakat jauh lebih penting dan efektif dibandingkan membiarkan
masyarakat jatuh dalam kubangan politisasi agama (Yavuz, 2005).
Konsentrasi Gulen seperti diidentifikasi Barton lebih besar dicurahkan
pada perbaikan kualitas pendidikan, etika perbankan dan perusahaan
media. Selain itu Gulen tetap tekun memobilisasi integritas personal dan
kepedulian sosial dari para pelaku bisnis serta pada saat yang sama
menyediakan jaringan untuk memacu dan mendukung kegiatan mereka (Barton,
2005). Seperti dinyatakan Yafuz, Gulen tidak memiliki agenda politik
tertentu terutama berkaitan dengan gerakan sosial yang dipimpinnya,
tetapi kharisma Gulen merupakan daya tarik politik yang tidak bisa
diabaikan dalam kancah pepolitikan Turki. Gulen tidak pernah dengan
tegas menyatakan sikap politiknya, namun bukan lagi rahasia jika ia
tidak bersimpati dengan politisasi Islam ala Milli Gorus yang digawangi
Necmetin Erbakan berikut partai-partai politik berada dibawahnya. Gulen
justru terlihat lebih intim dengan pemimpin-pemimpin sekuler seperti
mantan presiden dan perdana menteri Turgut Ozal dan perdana menteri
wanita pertama Turki Tansu Ciller (Yafuz, 2005).
Seperti Gus dur yang mendukung penuh pemerintah menjaga Pancasila sebagai dasar negara, Gulen seringkali menjadi bumper pemerintah
dan kekuatan militer Turki terutama ketika berhadapan dengan kelompok
Islam Kanan. Namun penting untuk dicatat, kedua tokoh ini memberikan
dukungan tersebut tidak gratis, Gus Dur dan Gulen sama-sama meminta
demokrasi sebagai harga yang tidak bisa ditawar.(Sa’id Ali, 2008; Yafuz,
2005) Gulen selalu lantang menyuarakan demokratisasi baik kepada
pemerintah maupun pada partai-partai Islam sebagaimana pernyataannya
berikut: “Democracy and Islam are
compatible. Ninety-Wve percent of Islamic rules deal with private life
and the family. Only 5 percent deal with matters of the state and this
could be arranged only within the context of democracy. If some people
are thinking something else, such as an Islamic state, this country’s
history and social conditions do not allow it.... Democratization is an
irreversible process in Turkey”.(Yafuz, 2005).
Walhasil,
di era modernitas dan globalisasi seperti sekarang sosok seperti
Abdurrahman Wahid dan Fethullah Gulen merupakan kebutuhan primer yang
tidak bisa dihindari. Sosok yang mampu menerjemahkan nilai-nilai Islam
dalam bahasa yang dikenal dan mudah diterima masyararakat kontemporer,
sekaligus mampu mengejawantahkannya dalam aktivitas nyata yang dapat
dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat. Apa yang dikatakan
Eickelman bahwa dalam era global setiap agama harus bisa menata ulang
hubungannya dengan masyarakat, sebab tradisi keagamaan telah menjadi
konsumsi massal, tampaknya sudah dimainkan dengan apik oleh Gus Dur dan
Gulen. Bagaimana dengan kita? (NU Online)
*Anggota DPR RI