Serunya Menag Berdialog Dengan Peserta Sarasehan Pendidikan Agama Islam

Sarasehan Nasional Pendidikan Agama Islam (PAI) yang mengusung tema “Potensi Pendidikan Islam Indonesia menjadi Rujukan Pendidikan Moderat Dunia,” yang berlangsung sejak tanggal 12-14 Mei 2016 menjadi momentum Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berdialog dengan peserta sarasehan yang berasal dari berbagai kalangan di lingkup PAI se-Indonesia, seperti guru PAI, pengawas, kepala sekolah maupun instruktur nasional, baik dari TK, SD, SMP, SMU maupun SMK di Jakarta, Selasa (14/6/2016). Menag hadir  didampingi Direktur PAI Amin Haedari.

Di awal dialog, Menag menanyakan apa kendala terbesar dan terberat yang dialami, khususnya guru PAI saat mengajar. Merespon pertanyaan Menag, seketika berhamburan  tanggapan peserta tentang kendala dan permasalahan yang dialami mulai sekolahan tidak ada tempat untuk praktek shalat hingga harus shalat di meja belajar, radikalisme, penerapan kejujuran yang kurang dukungan, masalah HAM jika menghukum anak didik, kurangnya guru PAI di sekolah-sekolah, anak didik yang hiperaktif hingga anak didik yang malas mempelajari PAI.
Menag tidak langsung menjawab berbagai pertanyaan, tapi pertanyaan tersebut dilempar ke audiens.
“Kira-kira, adakah jawaban yang tepat untuk menjawab beberapa pertanyaan bapak-ibu guru tadi?” tanya Menag yang disambut acungan jari puluhan guru yang berebut menjawab.
Satu guru TK dari Yogyakarta yang merupakan PNS Kemenag, Dewi Widiastuti  diberi kesempatan merespon pertanyaan. Ia menuturkan, seorang guru PAI haruslah mengajar PAI dengan hati dan buat proses belajarnya menyenangkan.
“Kadang, siswa butuh permainan. Ajaklah siswa nyanyi, bergerak atau hal apa pun yang bisa menyenangkan. Bahkan, Pak Menteri pun butuh bermain. Kita harus mengajar dengan hati.” terangnya disambut gerr audiens.
Banyak hal dibahas dalam dialog interaktif tersebut. Para peserta pun saling bertanya dan dijawab sendiri oleh mereka. Namun, Menag juga menjawab pertanyaan dan melengkapi jawaban peserta lainnya.
Dari sejumlah pertanyaan dan pandangan yang mengemuka dalam forum interaktif tersebut, salah satu yang dibahas intens dan serius adalah tentang radikalisme dan perbedaan pandangan dalam meyakini agama.
Menag menyatakan, ukuran sebuah kebenaran sangat beragam, karenanya, Menag berharap, para guru mampu memberi pemahaman yang komprehensif terhadap anak didik.
“Dibutuhkan kearifan dan kesadaran kita, untuk melihat kenyataan, sembari tidak cepat menjustifikasi sesuatu yang berbeda dengan kita. Memakai celanan congkrang misalnya, pastilah yang memakai mempunyai alasan kuat, dan itu adalah hak dia, jika kita beda, kita tidak boleh menghakimi dan menyalahkan itu. Begitu pula sebaliknya. Jadi, masing-masing dari kita mempunyai alasan dan landasan sendiri. Nah, ketika seorang guru menghadapi hal-hal khilafiyah, maka diperlukan pemahaman yang komprehensif, sehingga anak didik kita tercerahkan dan mampu memahami realitas tersebut. Kita harus mempunyai wawasan, pengetahuan, kesadaran, kedewasaan yang terus bertambah untuk memberi gambaran bahwa perbedaan adalah Sunnatullah. Minimal, kita sebagai guru kita bisa bilang: ini pandangan yang saya yakini, jika ada pandangan lain, kita bisa berdiskusi. Artinya kita harus berbesar hati,” urai Menag panjang lebar.
Menag kemudian mengambil spidol dan menggambar di kertas ukuran 1 plano yang tersedia di panggung. Menag menggambar Bujursangkar, bujur sangkar tersebut kemudian tengahnya diberi garis 3 ke atas dan 3 menyamping. Terlihat, bujur sangkar tersebut terbagi atas 16 bujursangkar kecil. Selanjutnya, Menag meminta pandangan kepada peserta tentang gambar tersebut.
“Kira-kira, bujur sangkar ini, jika disamakan sisi-nya, ada berapa bujur sangkar? tanya Menag.
Audiens ada yang menjawab 1, ada yang 16, 21, 26, 32, 23, 17, bahkan ada yang menjawab 96. Menag mempersilahkan audiens untuk mempresentasikan jawaban mereka. Dan, semua audiens mampu menjawab dengan meyakinkan dan benar.
“Nah, dari sini, bisa kita lihat, satu pertanyaan mampu menghasilkan banyak jawaban yang berbeda dan semuanya benar. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Begitu pula agama,” ujar Menag.
“Tuhan kita satu, kitab juga satu, Nabi (Muhammad) juga satu. Kita bisa beda, karena sudut pandang kita beda. Artinya, bahwa ternyata kita mempunyai keterbatasan. Menurut Menag, siapa pun kita, kita adalah dzat yang terbatas. Karenanya, terbatas pula kemampuan kita untuk memahami dzat yang tak terbatas. Karenanya, sekali lagi diperlukan kearifan untuk menyikapi perbedaan tersebut,” lanjut Menag.
Ke depan, Menag berharap para guru PAI mampu memberi pemahaman kepada anak didiknya untuk berpandangan luas. Jangan kemudian menyempitkan dan mengkerucutkan, apalagi mengkunci anak didik dengan pemahaman yang hitam putih. (kemenag.goid)

Subscribe to receive free email updates: