Ramadhan dan ‘Toleransi’ Warung Makan

Oleh: Ahmad Kholili Hasib

Salah satu hikmah puasa — yang barangkali sudah sering diulang-ulang dalam ceramah dan khutbah Ramadhan — adalah melatih jiwa untuk lebih memperhatikan orang fakir-miskin. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam sendiri setiap bulan Ramadhan melebihkan sedekahnya kepada orang miskin, daripada hari-hari biasa.

Pesan yang hendak disampaikan kepada seluruh kaum Muslimin adalah, jangan sekali-kali abaikan kaum fakir di bulan Ramadhan. Bahkan, predikat ‘pendusta agama’ diberikan kepada yang tidak mendorong memberi makan orang miskin (QS. Al-Ma’un: 3). Memang, puasa itu ibadah ‘private’, tetapi tetapi melatih kepekaan sosial.
Terkadang, ibadah ritual itu gagal dikarenakan mengabaikan aspek sosial. Jadi dalam Islam itu ritual dan sosial itu menyatu. Dasarnya, keimanan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang Satu.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pernah mengatakan: “Aku tidak wushul kepada Allah (sampai kepada kedekataan di sisi-Nya) dengan shalat malam dan puasa saja. Akan tetapi karena disertai sifat dermawan, tawadhu’ dan hati yang bersih” (Syaikh Nawawi al-Jawi, Syarh Bidayatul Hidayah hal. 34).
Menyembah kepada Allah akan Subhanahu Wata’ala tetapi berbuat buruk kepada orang lain bukan-lah karakter Muslim yang baik. Begitu pula berbuat baik kepada manusia, akan tetapi meninggalkan shalat tidak puasa dan lain-lain misalnya, juga bukan karakter Muslim yang baik.
Maka bisa dimengerti, ibadah sosial itu dasarnya keimanan kepada Allah Subhanahu Wata’a. Dasar itu yang utama, bukan cabang. Jika ingin menjadi dermawan, landaskan kedermawawan itu kepada aturan Allah Subhanahu Wata’ala.
Hendaknya seorang Muslim tidak memandang sesuatu dari perspektif pikirannya sendiri, hawa nafsunya atau kebiasaan masyarakat umumnya. Sebab, pikiran manusia ada batasnya. Malah sering kali dipengaruhi nafsu setan. Maka, panduan seorang Muslim adalah keimanan yang bersumberkan peraturan syariat.
Kenapa harus ada panduang syariat? Karena setan dan nafsu selalu membisiki keburukan setiap saat. Hasan Bashri mengatakan: “Bahwasannya selalu aka nada dua lintasan dalam hati manusia. Satu lintasan dari Allah dan satu lintasan lainnya dari setan”. Dalam hati selalu ada ‘perang’ dua lintasan ini.
Imam al-Ghazali menjelaskan, kemenangan lintasan setan biasanya disebabkan oleh beberapa hal; banyaknya makan, cinta dunia, sifat marah, iri dan dengki, kikir dan takut miskin, fanatik buta, dan suudzan kepada saudara Muslim. Selama diri kita masih ada sifat-sifat ini, maka sudah dipastikan setan mudah masuk ke dalam hati.
Antara Toleransi dan Politisasi Media
Karena itu supaya ibadah puasa kita maksimal, maka dibuatlah aturan-aturan untuk menjaga puasa kita. Contohnya, dilarang menjual makanan di siang bulan Ramadhan.
Kitab-kitab fikih sudah cukup banyak menerangkan fatwa ini. Dalam Syarah Sunan Abu Dawud 21/24 dikatakan:
لايجوز للمسلم ان يبيع الطعام في نهار رمضان لا للمسلمين ولا للكفار (شرح سنن ابي داود -عبد المحسن العباد ج ٢١ ص. ٢٤)
“Seorang Muslim dilarang berjualan makanan di siang bulan Ramadhan.” [Syarah Sunan Abu Dawud 21/24]
Larangan ini untuk penjual yang Muslim atau kafir”. Dalam kitab Hasyiyah al-Bujairomi jilid 2 hal.224 ada fatwa bahwa yang termasuk jual-beli yang berdosa (dilarang) adalah menjual barang dimana penjual tahu bahwa barangnya akan digunakan orang untuk maksiat, atau jual-beli itu untuk memberi makan orang Muslim baligh di siang hari. Begitu pula tidak boleh menjual makanan kepada orang yang terkena kewajiban puasa, yang diperkiran makanan itu akan dimakan di siang bulan Ramadhan. Dengan bahasa yang hampir sama, juga diterangkan di Kitab I’anatu al-Thalibin dan kitab-kitab fikih lainnya.
يتخذه آلة لهو وإطعام مسلم مكلف كافرا مكلفا في نهار رمضان وكذا بيعه طعاما علم أو ظن أنه يأكله نهارا
“Yang termasuk jual beli yang melampaui batas (dilarang) adalah orang (penjual) yang mengetahui barangnya untuk kemaksiatan, atau untuk nyanyian yang diharankan, atau menjual kayu yang diketahui untuk alat permainan yang melalaikan, atau untuk memberi makan Muslim baligh atau orang kafir baligh di siang Bulan Ramadhan, begitu pula tidak boleh  menjual makanan kepada orang yang  diketahui atau diperkirakan untuk dimakan di siang Ramadhan.” (Dalam Hasyiyah Bujairomi 2/224)
Kenapa dilarang menjual makanan di siang bulan Ramadhan? Bagaimana pengusaha warung mendapatkan rejekinya?
Baru-baru ini ada berita yang dibesar-besarkan, ibu penjual nasi ditertipkan oleh petugas. Petugas yang menertibkan sudah benar, karena ada peraturan daerah yang melarang warung dan restoran berjualan di siang bulan Ramadhan. Hanya memang, hendaknya petugasnya tidak menyita barang dagangannya. Cukup menutup warung.
Saenih pemilik warung makan yang ramai di medsos (ist)
Dalam kasus ini, si penjual tersebut juga tidak sepenuhnya dapat disalahkan. Karena dia ternyata tidak tahu ada peraturan daerah tersebut, apalagi ia tidak bisa membaca. Dalam salah satu wawancara di satu web, si ibu mengatakan akan mematuhi perda itu. Si ibu pun juga ada hak untuk mendapatkan bantuan. Toh dia orang miskin. Mestinya kasusnya sudah selesai.
Tetapi, ada yang memanfaatkan masalah ini untuk memojokkan Islam dan Ibadah puasa. Dorongannya adalah politis, bukan dorongan nurani beragama. Apa sebab? Karena yang diangkat cuma satu saja. Padahal, masalah penggusuran pedagang itu sangat sering terjadi, tapi tidak ada dorongan membelanya.
Jadi, hendaknya kasus itu tidak dipolitisasi untuk tujuan-tujuan tertentu. Apalagi untuk mendiskreditkan umat Islam tidak toleran.
“Orang yang puasa hendaknya menghormati orang berpuasa,” demikian kata-kata seorang untuk membela orang tidak puasa. Yang aneh, dia juga percaya bahwa yang tidak puasa lebih banyak (mayoritas) daripada yang tidak puasa (minoritas).
Bagaimana logikanya, minoritas harus toleran kepada yang mayoritas?
Bukan soal jumlah/kuantitas itu masalahnya. Tapi bermaksiat koq dibela? Jelas logikanya bukan logika agama. Jika logika tersebut diteruskan, bagaimana kalau orang yang nikah harus menghormati orang yang berzina. Jadi biarkan saja anak-anak muda kita berzina. Hormatilah! Akan menjadi bangsa apa kita?
Sekarang ini ada semacam dorongan wacana, supaya masyarakat kita tidak lagi menggunakan logika orang beragama.
Ini jelas tidak Pancasilais. Sebab, sila pertama pancasila berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila ini diletakkan di awal, karena kepercayaan kepada Tuhan itu dasar dari semuanya. UUD ’45 pasal 29 juga menjelaskan : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Oleh karena segala kegiatan di negara Indonesia harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan berdasarkan netral agama. Prinsip Ketuhanan yang ditanamkan dalam UUD 1945 merupakan perwujudan dari pengakuan keagamaan.
Artinya, orang yang menjalankan agama itu berhak dilindungi.
Hal-hal yang mengganggu, negara wajib menjegahnya. Inilah kewajiban negara, mendidik warganya menjadi orang yang taat agama, bukan mendidik melanggar agama. Mendidik warga negaranya tidak ada landasan sama sekali dalam Pancasila dan UUD ’45. Dengan logika Pancasila saja, kita boleh simpulkan bahwa orang berpuasa berhak dilindungi oleh negara. Pancasila itu mendidik warga Indonesia untuk menjadi warga yang taat beragama, bukan warga yang menentang aturan agama.(hidayatullah.com)*
Anggota Majelis Intelektual Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jawa Timur

Subscribe to receive free email updates: