Perda Syariah, Betawi, dan Kepalsuan Media Sosial

"Perut saya terasa mual!" Pernyataan itu terlontar dalam perbincangan mengenai isu umat Islam terkini dengan pakar sufisme dan Guru Besar Universitas Paramadina Prof DR Abdul Hadi WM (lengkapnya, Abdul Hadi Wiji Muthari). Bagi yang kenal dekat dengannya, tentu saja terkejut. Jarang sekali penyair yang menjadi penggagas kebangkitan sastra Islami (profetik/sastra sufi) yang ramai dibincangkan pada tahun 1970-an bicara sekeras ini.

"Apalagi bila menonton perbincangan di media televisi atau mengikuti arus berita di media sosial. Saya merasa muak dan merasa keadaan negara ini (mengalami) kemunduran serius," katanya lagi.

Dalam perbincangan kali ini Abdul Hadi melihat betapa suasana negara semakin tampak tertatih-tatih. Di tengah melambungnya harga bahan makanan selama Ramadhan dan munculnya angka defisit negara hingga Rp 183 triliun, penerimaan pajak yang hanya mencapai target 26,8 persen meski tahun anggaran sudah berjalan separuh, pada saat yang sama di dalam tubuh umat Islam terjadi perpecahan serius.

"Entah mengapa ajaran agama ini diolok-olok. Situasinya malah lebih parah dari 1965. Kini mereka yang terpelajar sekaligus masih mengaku beragama Islam malah ikut sibuk merendahkan agamanya. Mereka mem-bully apa saja yang terkesan berbau ajaran Islam sebagai hal kuno dan ketinggalan zaman," katanya.

Uniknya, ketika pengamatan Abdul Hadi tersebut dimuat di Republika.co.id publik--khususnya umat Islam--seperti tersengat hebat. Apalagi ketika kemudian dia menyerukan agar para cendekiawan Muslim segera mengambil sikap atas munculnya agenda setting menyudutkan posisi umat. Segera saja pernyataan dia menjadi viral yang tersebar di kalangan tokoh umat Islam. Tak sampai dua jam, pembaca beritanya (viewer) mencapai lebih dari 20 ribu orang.

"Soal perda syariah itu, misalnya, kini dituduhkan itu dibuat oleh kalangan Islam. Padahal, faktanya jelas perda itu justru didorong atau di-endorse oleh partai ‘nasionalis’. Contohnya pada kasus warteg di Serang itu. Yang berkuasa dan membuat perda itu adalah pihak partai yang berkuasa di sana, yakni Partai Golkar. Bahkan, kini gubernurnya dari PDI Perjuangan," ujarnya.

Melihat situasi itulah maka Abdul Hadi kemudian menyimpulkan adanya agenda setting dari media sosial untuk menyudutkan umat Islam. "Tangan itu memang tak terlihat, tapi saya merasakannya," tegasnya.

Tak hanya menyebut soal agenda setting, Abdul Hadi kemudian mencontohkan salah satu sosok masyarakat yang paling terkena dampak sikap peyoratif terhadap ajaran Islam. Dalam hal ini dia kemudian menunjuk pada sosok masyarakat dan budaya Betawi yang kini terasing di tanahnya sendiri.

"Mereka dahulu aman, nyaman, dan tenteram menjalankan budaya dan ajaran agamanya, yakni agama Islam. Namun, tiba-tiba karena situasi zaman yang berubah, dia kesulitan menjalankannya karena datang ‘orang lain’ di tanah Betawi. Celakanya, si pendatang itu tak menghormati atau menganggap penting budaya dan kepercayaan yang punya kampung. Karena mereka jumlahnya sangat banyak dan tak ada yang melindungi, maka Betawi pun tersingkir," katanya.

Maka, Jakarta yang sebenarnya kampungnya orang Betawi berubah total. Semakin hari jejak pemiliknya sama sekali tak tampak. Jakarta melupakan asal usulnya.

"Anehnya, ketika kini masih terdengar suara azan atau orang mengaji, maka itu malah akan dilarang. Padahal, dari dulu Jakarta ya seperti itu. Orang asli itulah yang justru harus menyesuaikan ‘seleranya’ oleh kaum pendatang. Ini jelas tidak adil, bukan?" katanya.

Ancaman Kepalsuan Media Sosial

Dalam banyak kesempatan, budayawan Radhar Panca Dahana pun kerap kali mempersoalkan agenda setting yang kini banyak membaluri media, terutama media sosial. Saking jengkelnya, Radhar ketika beberapa waktu lalu berdiskusi di gedung parlemen menyatakan: "Kalau saya jadi presiden maka saya akan tutup media sosial!"

Radhar menyatakan, saat ini Indonesia sangat butuh konsensus. Politik hingga pembentukan sistem nilai juga butuh konsensus. Namun, konsensus itu tidak bisa didapat dengan mengandalkan sikap atau pendapat media sosial.

"Media sosial adalah cermin dari sikap kebebasan berpendapat yang mutlak. Padahal, sebenarnya di alam nyata tak ada kebebasan yang seperti itu. Akibatnya, terjadilah sebuah situasi ‘ketiadaan konsensus’ yang ujungnya kemudian menghancurkan adanya acuan," kata Radhar.

Akibat kehancuran acuan itu, maka apa yang disebut etika atau moralitas tak ada lagi. "Apa yang disebut beradab, bermoral, santun, baik dan buruk, pun menghilang. Setiap orang mengacu pada dirinya sendiri saja atas nama mitos kebebasan," tegasnya.

Dan setelah itu terjadi, maka apa yang disebut budaya dan peradaban Indonesia akan mengalami kematian. Kalau pun kemudian masih ada, maka yang muncul adalah sisa-sisa budaya dan peradaban Indonesia yang rendah mutunya.

"Kalau tak ada yang sadar mencegah proses kehancuran akibat munculnya teknologi komunikasi, informasi, dan komputasi (munculnya dunia virtual--Red), maka nantinya budaya Indonesia yang muncul hanyalah budaya anomali yang itu sifatnya destruktif, tidak humanis, kriminal, dan koruptif. Dan tanda-tandanya sudah terlihat jelas di depan mata. Media sosial salah satu penyebabnya," katanya.

Radhar kemudian meminta semua pihak merenungkan kembali mengenai apa yang didapat dari revolusi melalui media sosial--yang terkenal dengan sebutan Arab Spring. Faktanya, karena tetap gagal mencapai konsensus maka negara seperti Libya, Tunisia, dan Mesir malah menjadi hancur berantakan.

Di Mesir misalnya, kondisi negara tak kunjung membaik dan malah memunculkan rezim diktator militer yang dulu dislogankan di berbagai media sosial akan dihilangkan. Di Libya muncul perang saudara yang seolah tak ada habisnya.(republika)

Subscribe to receive free email updates: