Menyorot Kapasitas Dai di Televisi

Televisi hingga kini masih menjadi tontonan utama masyarakat di Indonesia. TV merupakan sarana hiburan yang murah dan meriah, yang menyediakan ragam acara sesuai dengan minat penonton.
Dari sebagian besar siaran hiburan, setiap pengelola TV selalu menyediakan ruang untuk acara dakwah yang dibuat dalam berbagai format untuk menarik perhatian pirsawan. Salah satu strategi yang digunakan adalah dengan mencari dai yang lucu, ganteng, atau menarik perhatian, meskipun kadang kala kapasitas keagamaannya kurang.

Fenomena inilah yang menjadi perhatian dari mantan Menteri Agama RI Sayid Agil Husin Al-Munawwar yang sering kali melihat adanya kesalahan pengambilan atau pemaknaan dalil-dalil agama yang berasal dari Al-Qur'an dan Hadits, sebagaimana disampaikannya dalam sebuah acara di Pesawaran, Lampung, Sabtu (21/5). Tentu saja, hal ini bisa menimbulkan masalah dalam masyarakat.

Persoalan lain adalah adanya muallaf atau selebritas yang baru tobat, kemudian menyalah-salahkan pandangan agama dari ulama atau kiai yang sudah belajar agama dalam waktu lama di pesantren atau perguruan tinggi. Parahnya, ada saja masyarakat yang memercayainya.

Belum lagi munculnya dai dengan gaya sok dan meniru perilaku yang berjalan di dunia hiburan seperti penggunaan manajemen dan gaya hidup mewah yang dipertontonkan kepada publik. Dai terkesan bukan lagi tokoh panutan, tetapi penghibur dengan menggunakan konten-konten keagamaan sebagai materinya.

Penggunaan manajemen untuk mengatur berbagai keperluan dai sebelum tampil di publik sering kali dikeluhkan karena menyebabkan ongkos menjadi mahal dan menjauhkan dai dari masyarakat. Sementara pada sisi lain gaya hidup mewah seperti memiliki motor gede (moge) atau mobil mahal serta pelesiran ke berbagai belahan dunia dari hasil uang dakwah mencederai masyarakat yang sering kali berpatungan agar bisa mendatangkan dai tersebut, belum lagi dengan masih banyaknya kemiskinan. Dakwah seolah-olah bukan lagi panggilan jiwa, tetapi profesi yang sah dan layak untuk ditentukan tarifnya.

Para ulama mengatakan, sesuatu yang datang dari hati akan masuk ke hati, yang datang dari mulut, masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Dai-dai dengan perilaku yang tidak mencerminkan sikap hidup tokoh agama yang menjadi panutan ini tidak akan mampu mengubah masyarakat melalui pesan yang disampaikannya.

Sebagai sebuah industri media yang padat modal, pengelola TV dituntut untuk menghasilkan tayangan yang memiliki rating bagus sehingga dilirik oleh pengiklan. Soal kualitas konten menjadi urusan kesekian. Sebagaimana keluhan banyaknya acara TV tidak bermutu, bahkan cenderung merusak, mereka seolah-olah tidak peduli. Apalagi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang bertugas mengawasi siaran seolah-olah tidak bergigi menjalankan tugasnya untuk melawan korporasi besar pemilik media.

Idealnya para dai yang tampil di TV merupakan orang yang mumpuni sekaligus memiliki kemampuan untuk menyampaikan materi secara menarik, sebagaimana KH Zainuddin MZ. Sayangnya, industri TV mengambil jalan instan dengan mencari dai yang terlihat populer, sekalipun kapasitas keilmuannya belum memadai untuk tampil di publik, walaupun hal tersebut juga merugikan masyarakat secara umum.

Industri TV sebenarnya bisa bekerja sama dengan ormas keagamaan seperti NU atau Muhammadiyah, serta kampus-kampus perguruan tinggi Islam untuk mendapatkan calon dai yang layak, meskipun harus ada upaya untuk memoles mereka agar bisa menyampaikan pesannya dengan lebih menarik. Dalam  jangka panjang, ini akan menghasilkan tokoh yang mumpuni seperti pakar Al-Qur'an Prof Dr KH Quraish Syihab. Industri TV diuntungkan, masyarakat juga diuntungkan dengan adanya ahli agama yang mumpuni. (Mukafi Niam/NU Online)

Subscribe to receive free email updates: