Membumikan Makna Tadarus
Oleh Wasid Mansyur
Salah
satu ritual dalam bulan Ramadan yang diyakini sangat penting bagi umat
Islam adalah tadarus al-Qur’an. Tidak salah bila kemudian, di berbagai
masjid dan musholla ditemukan mereka meramaikannya dengan membaca
al-Qur’an setelah sholat Tarawih, bahkan ada sebagian yang mengadakannya
diwaktu yang berbeda.
Respon positif atas
tradisi tadarus al-Qur’an menandakan bahwa umat Islam di Indonesia masih
memiliki kesadaran religius yang cukup tinggi, khususnya dalam membaca
al-Qur’an. Tapi, lebih dari itu perlu perenungan kembali, sejauh mana
efek ritual ini dalam kehidupan sosial dan kebangsaan kita sebab
al-Qur’an bukan sekadar bacaan, tapi perlu dipahami dan diamalkan
kandungannya.
Secara kebahasaan, kata Tadarus berarti saling belajar dari kata dasar Darasa (belajar).
Secara praktik, tadarus al-Qur’an dimaknai dengan ritual membaca
al-Qur’an yang dilakukan minimal 2 orang, yakni satu di antara keduanya
membaca dan yang lain menyimak. Maka, tidak bisa dikatakan tadarus bila
hanya dilakukan sendirian, tanpa kehadiran yang lain.
Dari
ini, ada dua makna penting dari tradisi tadarus untuk direnungkan agar
kemudian bermakna dalam konteks sosial dan berbangsa. Pertama,
dilihat dari si-pembaca. Pembaca al-Qur’an dalam ritual tadarus harus
jeli dan teliti agar bacaannya tidak salah, sekaligus memiliki
kerendahan hati kepada orang lain (penyimak) bila kemudian ada proses
pembenaran terhadap bacaan yang kurat tepat.
Jeli
dan teliti serta didukung oleh kerendahan hati menjadi sangat penting
dalam kehidupan yang lebih luas. Tapi, memang problem terkini dalam
kehidupan beragama, khususnya, masih didominasi oleh sikap individu yang
jeli dan teliti terhadap keyakinannya sendiri, tapi bersifat angkuh dan
sombang dalam melihat keyakinan orang lain yang berbeda.
Kedua, dilihat
dari si-penyimak. Sebagaimana mafhum, ia bertugas mendengarkan dan
mengamati bacaan sekaligus akan mengganti posisi pembaca pertama, bila
kemudian berhenti. Karenanya, si-penyimak tidak boleh santai, bahkan
harus siap siaga mengawal bacaan agar tetap sesuai dengan pakem-pakem
yang ditentukan dalam membaca al-Qur’an.
Dari
sini, maka kesadaran pembaca dan penyimak itu penting, bahkan menentukan
kualitas bacaan al-Qur’an itu lebih bermakna. Secara sosiologis
fenomena ini mengajarkan bahwa saling belajar antar sesama adalah
keniscayaan hidup dalam sebuah bangsa, yakni belajar tentang bagaimana
pentingnya menghormati dan menghargai posisinya masing-masing.
Tradisi
tadarus mengajarkan tentang pentingnya harmoni dalam semua lini
kehidupan sebab sangat mustahil bangsa ini akan besar, bila masih ada
sebagian orang baik individu maupun kelompok lebih suka menebarkan teror
kepada orang lain, sebagaimana bacaan al-Qur’an itu tidak memastikan
tepat bila hubungan si-pembaca dan si-penyimak tidak ada sikap saling
mengingatkan, terlebih bila tidak harmoni antar keduanya.
Tadarus sebagai kritik
Konkretnya
dalam ranah sosial, bisa dipahami bahwa upaya penggagalan secara paksa
oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam (baca; FPI) baru-baru
ini terhadap Ibu Shinta Nuriyyah Abdurrahman Wahid yang mengadakan buka
bersama lintas agama di Semarang menunjukkan bahwa mereka belum berhasil
memaknai kemuliaan ritual bertadarus, lebih-lebih menangkap dan
mempraktikkan momentum kemuliaan bulan Ramadhan dalam kehidupan sosial.
Ketidak-berhasilan
menangkap dan mempraktikkan nilai-nilai hakiki dari Islam, khususnya
dari ritual tadarus dan puasa Ramadhan, mendorong FPI terus terjebak
pada formalitas beragama. Padahal, Islam mengajarkan bahwa untuk menjadi
Muslim yang baik tidak cukup hanya mengikuti perintah Allah secara
formal, tapi perlu adanya kesanggupan dirinya untuk tidak menyakiti
orang lain, yakni mempraktikkan keluhuran budi pekerti (akhlak al-karimah).
Dalam konteks ini, imam al-Ghazali mengatakan dalam bukunya Ayyuha al-Walad (wahai
seorang anak), bahwa keluhuran budi pekerti bisa dibuktikan dengan
tidak mendorong orang lain secara paksa mengikuti anda.Tapi, lebih dari
itu anda harus terdorong mengikuti kemauan mereka sepanjang tidak
bertentangan dengan shari’at. Jadi, apa yang dilakukan oleh FPI sangat
jauh dari prinsip luhur akhlak al-karimah sebab cenderung memaksa dan
menebarkan teror kepada orang lain.
Padahal
apa yang dilakukan Ibu Shinta dengan bersahur dan berbuka bersama secara
terbuka dengan masyarakat lintas agama bertujuan untuk mendidik publik
akan pentingnya pertemuan antar iman. Dari sini diharapkan terajut
secara terus menerus kerukunan antar beragama sebagaimana menjadi
cita-cita mediang suaminya Gus Dur, termasuk dalam rangka merawat nilai
ideologi Pancasila dan konstitusi berbangsa.
Akhirnya,
semua pihak harus menangkap dan mempraktikkan makna tradisi bertadarus
dalam konteks sosial dan berbangsa. Dari sini, diharapkan tercipta
tatanan sosial penuh damai, tanpa teror. Dan aparat pemerintah harus
hadir, tidak boleh absen dalam menjaga negara ini dari tindakan individu
atau kelompok yang sengaja bertentangan dengan prinsip-prinsip
pancasila dan konstitusi berbangsa. Semoga.(NU Online)***
Penulis adalah Akademisi UIN Sunan Ampel Surabaya, Pegiat Komunitas Baca Rakyat (KOBAR) Jawa Timur.