KH. As’ad Said Ali; Ada 2 Faktor Menonjol Penyebab Berkembangnya Radikalisme

Di era sekarang, radikalisme muncul di sejumlah negara Islam termasuk di Indonesia. Penyebabnya tidak jauh berbeda yakni masalah politik baik internal maupun eksternal. Perbedaannya terletak pada ruang lingkupnya yang sejak akhir abad XX menjadi konflik yang berskala global dengan dibarengi aksi kekerasan dan terorisme.
Hal tersebut disampaikan Ketua Majelis Wali Amanah (MWA) UPI Bandung KH As’ad Said Ali pada Seminar Nasional Pendidikan Perdamaian dan Upaya Pencegahan Radikalisme Agama yang diselenggarakan atas kerja sama Pergunu Jawa Barat dengan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, (16/5).

Menurut Mustasyar PBNU ini, berkembangnya radikalisme ini disebabkan oleh sejumlah faktor. Di antara berbagai faktor penyebab, ada dua faktor yang sangat menonjol. Pertama, banyak negara muslim yang belum berhasil merumuskan sistem politik dan pemerintahan di era modern. 

Lebih lanjut, Kiai As’ad mengatakan bahwa Al-Quran dan Hadits sendiri tidak secara eksplisit menentukan model sistem kenegaraan tertentu. Oleh karena itu, Para ulama menjadikan pengorganisasian masyarakat muslim Madinah sebagai contoh yang menjadi inspirasi pada sistem politik dan pemerintahan. 

Kaum radikalis, lanjutnya, menghendaki suatu negara teokratis dengan khilafah sebagai pemimpin tertinggi. Sebaliknya kaum moderat merumuskan sistem politik dengan pertimbangan realitas kekinian yang disesuaikan dengan syariat Islam serta perkembangan budaya setempat. 

“Perbedaan konsep kenegaraan inilah yang menjadi sumber konflik yang berujung pada kekerasan dan terorisme,” ujar mantan Wakil Kepala BIN ini.

Kedua, tambahnya, pasca perang dingin ada kecurigaan bahwa pihak Barat berusaha secara sistematik memaksakan sistem liberal/sekuler setelah merasa menang terhadap komunisme. Sistem liberal atau neo-liberalisme mereka anggap sebagai satu-satunya sistem yang mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. 

Kaum neo-liberalisme ini, imbuhnya, menjadikan isu globalisasi sebagai pintu masuk penyebaran paham baik melalui campur tangan dalam penyusunan undang-undang negara muslim maupun penyebaran sekulerisme melalui media cetak, elektronik dan dunia maya untuk merubah kebudayaan kaum muslimin. 

Kaum muslim moderat tentu saja tidak menolak proses tersebut yang memang tidak bisa dihindari, tetapi dengan catatan adanya dialog yang sejajar atas dasar kepentingan bersama. Sebaliknya, kaum radikalis menolak dan melawan melalui kekerasan yang bersifat global, yakni terorisme. “Bahkan kaum radikal menjadikan kaum muslimin yang tidak sependapat dengan mereka sebagai target kekerasan,” ungkap As’ad. (nu.or.id)

Subscribe to receive free email updates: