Bolehkah Baca Al Qur'an dengan Langgam Jawa..?


Pro kontra terkait pembacaan Al-Quran menggunakan langgam Jawa tak perlu diperpanjang.  Ketua umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, Senin (25/5/2015)  mengakui  sebetulnya tidak ada larangan baik di Al Quran maupun Hadits menggunakan langgam daerah.
"Kita juga tidak tahu bagaimana pastinya langgam yang dibacakan Rasululloh dulu. Memang selama ini karena Quran turun di Arab yang gunakan langgam Arab. Jadi saat dibaca menggunakan langgam lain terasa aneh," katanya.

Secara pribadi, Din mengaku  tidak masalah selama tajwid dan makhrajnya tidak keluar aturan. Jika penggunaan langgam daerah sampai menyalahi tajwid apalagi mengubah artinya itu baru dilarang.
"Tapi menurut saya, kalau tidak menggunakan langgam Arab, seperti langgam Jawa, kesannya dipaksakan. Banyak ayat yang tidak bisa digunakan pakai langgam selain Arab. Kadang panjang harakatnya memaksa. Itu menghilangkan wibawa Al Quran," demikian Din.
Penggunaan langgam daerah dalam membaca Al Quran menjadi polemik setelah qori dalam acara Isra' Mi'raj di Istana menggunakan langgam Jawa. 
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengakui pembacaan Al Quran dengan  cengkok atau langgam Jawa oleh qori Muhammad Yasser Arafat murni usulannya. Namun dia sudah meminta izin ulama sebelum mengusulkannya.
Bagaimana Prof Quraish Shihab memberi tanggapan tentang ini? Mantan Menteri Agama ini punya pendapat tentang penggunaan langgam Jawa dalam tilawah. Berikut ini penjelasannya seperti dilansir 
quraishshihab.com, Rabu (20/5/2015):
Beberapa hari belakangan ini terdengar banyak pembicaraan menyangkut bacaan al-Quran dengan langgam Jawa. Ada yang menerima dengan baik, ada juga yang menolak, bahkan ada yang mengecam dan menuduh dengan tuduhan yang keji.
Tidak dapat disangkal bahwa ada tatacara yang harus diindahkan dalam membaca al-Quran, misalnya tentang di mana harus/boleh memulai dan berhenti, bagaimana membunyikan huruf secara mandiri dan pada saat pertemuannya dengan berbagai huruf dalam satu kalimat, dan lain-lain. Inilah syarat utama untuk penilaian baik atau buruknya satu bacaan. Nah, bagaimana dengan langgam atau nadanya? Hemat penulis, tidak ada ketentuan yang baku. Karena itu, misalnya, kita biasa mendengar qari dari Mesir membaca dengan cara yang berbeda dengan nada dan langgam qari dari Saudi atau Sudan. Atas dasar itu, apalah salahnya jika qari dari Indonesia membacanya dengan langgam yang berbeda selama ketentuan tajwidnya telah terpenuhi? Bukankah Nabi saw. menganjurkan agar al-Quran dibaca dengan suara merdu dan langgam yang baik, tanpa menentukan langgam tertentu? Nah, jika langgam Jawa dinilai baik dan menyentuh bagi orang Jawa atau Bugis bagi orang Bugis, dan lain-lain, maka bukankah itu lebih baik selama ketentuan bacaan telah terpenuhi?
Memang ada riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi saw. yang menganjurkan agar al-Quran dibaca dengan langgam Arab. Konon beliau bersabda: Bacalah al-Quran dengan langgam Arab dan suara (cara pengucapan) mereka; jangan sekali-kali membacanya dengan langgam orang-orang fasiq dan dukun-dukun. Nanti akan datang orang-orang yang membacanya dengan mengulang-ulangnya seperti pengulangan para penyanyi dan para pendeta atau seperti tangisan orang yang dibayar untuk menangisi seorang yang meninggal dunia.
Hadits tersebut kalaupun dinilai shahih, maka itu bukan berarti bahwa langgam selain langgam Arab beliau larang. Bukankah beliau menganjurkan untuk membaca dengan baik dan indah, apalagi sementara pakar hadits menilai riwayat yang diriwayatkan oleh an-Nasaiy al-Baihaqy dan at-Thabarani di atas lemah karena dalam rangkaian perawinya terdapat Baqiyah bin al-Walid yang dikenal lemah dalam riwayat-riwayatnya. Demikian, wa Allah Alam.

Subscribe to receive free email updates: